Selasa, 09 Maret 2010

Kekonyolan Argumentasi MM Billah, Agama Itu Tidak Nyata

Dalam persidangan hari ini, Rabu (24/2/2010), MM Billah, salah satu saksi ahli yang dihadirkan oleh pihak pemohon (tim Advokasi Kebebasan Beragama), menyatakan bahwa UU 1/PNPS/1965 tentang pasal penodaan agama, menurutnya tidak jelas, dan bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. Menurutnya, ini melanggar deklarasi HAM internasional, kenapa? Karena menurutnya, pertama, agama itu tidak nyata, dan hanya sebuah pemikiran (keyakinan), maka bebas kita diskusikan. Kedua, kamus menodai adalah mengotori obyek fisik, sedangkan agama bukanlah obyek fisik.

Pandangan MM Billah ini jelas konyol. Karena, tidak bisa membedakan antara fakta dan persepsi. Agama, khususnya Islam, adalah fakta. Di dalamnya berisi ajaran, baik yang berkaitan dengan akidah maupun hukum syariah. Ini adalah fakta. Akidah dan hukum syariah itu diambil dari al-Qur’an, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas adalah juga fakta. Bukan persepsi kita. Karena itu, Islam kemudian berbeda dengan agama lain, juga fakta, bukan persepsi kita. Kalau kemudian secara faktual Islam jelas berbeda dengan agama lain, kemudian dianggap sama, itulah persepsi.

Bahwa agama, khususnya Islam, juga berisi pemikiran dan hukum juga fakta, bukan persepsi kita. Hanya saja, tentu bukan pemikiran dan hukum manusia. Karena itu, al-Qur’an sebagai sumber pemikiran dan hukum, diturunkan oleh Allah kepada manusia, disertai dengan penjelasan yang juga diberikan oleh Allah, melalui Rasul-Nya, Muhammad saw dengan hadits-nya. Tujuannya, agar tidak ada klaim kebenaran tanpa dasar. Benar, bahwa pemikiran dan hukum ini bisa didiskusikan, tetapi hasilnya tidak boleh menyimpang dari pokok dan pakemnya. Karena itu, pemikiran dan hukum, dalam pandangan Islam, bisa dihakimi: benar atau salah, sesat atau tidak.

Jika pandangan seperti ini diterima, maka bukan saja agama yang hancur, tetapi juga kehidupan, masyarakat dan negara. Karena, kehidupan manusia juga dibangun berdasarkan pemikiran. Demikian juga masyarakat dan negara. Jika dianggap pemikiran ini bukan fakta, maka dengan alasan HAM, orang bebas mengubah dan merusaknya. Konsekuensinya, kehidupan, masyarakat dan negara apapun akan musnah. Kalau pemikiran di dalam agama itu bukan fakta, tentu tidak bisa mengikat antar pemeluknya. Mereka juga bisa dibedakan, antara Muslim dengan non-Muslim, karena keterikatan mereka pada pemikiran tersebut. Ibarat tali pengikat, tidak mungkin, karena dianggap tidak ada faktanya, pemikiran tersebut bisa digunakan untuk mengikat satu sama lain dalam ikatan satu agama.

Dengan demikian, argumentasi yang kedua, bahwa dalam kamus penodaan itu hanya bisa terjadi pada obyek fisik, atau tepatnya obyek yang mempunyai fakta, dengan sendirinya runtuh. Sebagai bukti sederhana, ketika Ahmadiyah mengubah ayat al-Qur’an seenaknya, dan disusun dengan seenaknya, dalam kitab Tadzkirah mereka, apakah tidak bisa dianggap menodai agama? Jika Lutfi Syaukani, gembong JIL dengan tuduhannya, bahwa Islam dan Nabi Muhammad adalah bentuk penyimpangan dari agama terdahulu, apakah juga tidak bisa dianggap menistakan agama? Jelas bisa. Karena semua yang dinodai dan dinistakan itu ada faktanya. Bukan sekedar ilusi kita.

Mengenai soal tafsir, harus dibedakan dua hal: Pertama, fakta (pemikiran) yang bisa dipahami dan diyakini, tanpa harus ditafsirkan, sebagaimana masalah akidah dan keyakinan. Meyakini adanya Allah, Malaikat, al-Qur’an kalam Allah, Hari Kiamat, Qadha’ dan Qadar adalah perkara yang sudah jelas, bisa langsung diyakini manusia ketika mencari jawaban tentang fakta-fakta tersebut, dan tidak membutuhkan lagi penafsiran. Karena itu, siapapun bisa menemukan jawabannya, apapun latar belakang pendidikannya. Tetapi, ini berbeda dengan fakta kedua. Kedua, hukum syariah. Hukum ini tentu hanya bisa dipahami oleh ahli hukum, sebagaimana dalam pembuatan hukum positif, tentu pakar yang kredibellah yang bisa menafsirkan. Kalau logika siapapun bisa menafsirkan, maka hukum bisa diproduk oleh tukang bakso, penjual tahu, tempe bahkan pemulung, dan penafsirnya pun bisa tukang pijat, dan sebagainya. Tentu logika ini tidak bisa diterima. Karena itu, dalam konteks yang kedua, yaitu hukum syariah, wajar jika produk dan tafsiran hukum yang benar dan kredibel adalah dari ahli hukum, atau ulama’ yang kompeten, yaitu fuqaha’ maupun mujtahid. (Hafidz Abdurrahman; Lajnah Tsaqofiyah DPP HTI).
(sumber : hizbut Tahrir)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda