tag:blogger.com,1999:blog-42680875911939208702024-02-19T17:47:28.582+07:00Maze L12kUnknownnoreply@blogger.comBlogger14125tag:blogger.com,1999:blog-4268087591193920870.post-60490844515020696312010-07-05T11:56:00.000+07:002010-07-05T12:58:54.744+07:00Kedudukan Qunut SubuhBismillahirrahmanirrahiim....<br /><br />Salah satu amalan yang banyak dilakukan oleh orang-orang yang mengaku bermadzhab Syafi'i (termasuk sebagian besar muslimin di Indonesia) adalah qunut subuh. Diantara dalil-dalil yang digunakan adalah apa yang tercantum dalam kitab Al Adzkar An<br />Nawawi sebagai berikut:<br />Imam An Nawawi berkata, Ketahuilah bahwa qunut shalat subuh adalah sunnah, karena ada hadits shahih di dalamnya, dari Anas radhiyallahu'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam tidak pernah meninggalkan qunut di dalam (shalat) subuh hingga beliau meninggal dunia. (Hadits ini) diriwayatkan oleh al Hakim Abu Abdillah dalam kitab al Arba'in dan dia berkata shahih.<br /><br />Setelah beliau (Imam Nawawi) menyebutkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa-i, Ibnu Majah dan Baihaqi tentang do'a qunut dalam witir –Allahummah dinii fii man hadait ...- beliau berkata, Dan dalam riwayat yang disebutkan al Baihaqi bahwa Muhammad bin al Hanafiyah yaitu Ibnu Ali bin Abi Thalib berkata, Sesungguhnya do'a ini (yaitu doa qunut witir) adalah do'a yang dibaca ayahku (Ali bin Abi Thalib) dalam shalat fajar di saat qunut. Kemudian Imam Nawawi berkata, Telah berkata sahabat-sahabat kami, qunut dengan doa yang datang dari Umar bin Khaththab, maka itu baik juga, karena beliau (Umar) telah qunut di dalam shalat subuh setelah ruku' lalu berdoa -Allahumma inna nasta'inuka<br />...-.<br /><br />Untuk menentukan suatu amalan itu bernilai wajib, sunnah atau bahkan bid'ah perlu diteliti dalil dan hujjah yang mendukungnya, shahih atau tidak, sebab tidak boleh berhujjah kecuali dengan riwayat yang shahih. Oleh karena perlu dibahas satu persatu dalil dan hujjah yang berkenaan dengan qunut subuh ini.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">1. Hadits Pertama:</span> Dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam terus menerus melakukan qunut di dalam shalat subuh sampai meninggalkan dunia. Hadits ini diriwayatkan oleh Abdurrazaq di dalam Al Mushannaf (3/110/4964), Ibnu Abi Syaibah (2/312), Ath Thahawi di dalam Syarhul Ma'ani (1/143), Ad Daruquthni (hal 178), Al Hakim dalam Al Arba'in, Al baihaqi dari jalan Al Hakim (2/201), Al Baghawi di dalam Syarhus Sunnah (3/123/739), Ibnul Jauzi di dalam Al Wahiyah (1/444-445) dan Ahmad (3/162) dari jalan Abu Ja'far Ar Razi dari Rabi' bin Anas dari Anas bin Malik. Al Baghawi menyatakan bahwa Al Hakim berkata, Isnadnya hasan. Al Baihaqi menyatakan bahwa Al Hakim berkata, Isnadnya shahih dan para perawinya terpercaya... dan dia meyetujuinya. An Nawawi menyatakan bahwa Al Hakim berkata, Hadits shahih. Sebenarnya hadits ini tidak shahih karena perawi yang bernama Abu Ja'far Ar Razi dilemahkan oleh para ulama. Ibnu At Turkumani berkata dalam membantah Al Baihaqi, Bagaimana bisa sanadnya shahih padahal perawi dari Rabi' yang bernama Abu Ja'far Isa bin Mahan Ar Razi adalah seorang yang diperbincangkan. Ibnu Hambal dan An Nasa-i mengatakan bahwa dia (Abu Ja'far) tidak kuat, sedangkan Abu Zur'ah berkata bahwa dia (Abu Ja'far) sering keliru dan Al Fallas berkata bahwa hafalannya (Abu Ja'far) buruk, bahkan Ibnu Hibban berkata bahwa dia (Abu Ja'far) menceritakan riwayat-riwayat yang mungkar dari orang-orang yang terkenal. Ibnul Qayyim berkata dalam Zadul Ma'ad (1/99), Adapun Abu Ja'far, dia telah dilemahkan oleh Ahmad dan lainnya. Ibnul Madini berkata bahwa dia (Abu Ja'far) sering kacau. Abu Zur'ah berkata bahwa dia (Abu Ja'far) sering keliru. Al Hafidz Ibnu Hajar berkata di dalam At Taqrib, Dia seorang yang jujur, tetapi hafalannya buruk, khususnya (riwayat) dari Mughirah. Az Zaila-i berkata dalam Nashbur Rayah (2/132) setelah meriwayatkan hadits tersebut, Hadits ini telah dilemahkan oleh Ibnul Jauzi di dalam At Tahqiq dan di dalam Al Mutanahiyah, dan beliau berkata bahwa hadits ini tidak shahih karena Abu Ja'far yang namanya Isa bin Mahan telah dikatakan oleh Ibnul Madini bahwa dia sering kacau (hafalannya)... Selain itu hadits tersebut Mungkar karena bertentangan dengan dua hadits yang shahih yaitu: Dari Anas bin Malik bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam biasanya tidak melakukan qunut kecuali apabila mendo'akan kebaikan bagi suatu kaum atau mendo'akan kecelakaan atas satu kaum. Diriwayatkan oleh Al Khathib di dalam kitabnya dari jalan Muhammad bin Abdullah Al Anshari (yang berkata): Sa'id bin Abi 'Arubah telah menceritakan kepada kami dari Qatadah dari Anas bin Malik. Dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam biasanya tidak melakukan qunut di dalam shalat subuh kecuali apabila mendo'akan kebaikan bagi suatu kaum atau mendo'akan kecelakaan atas satu kaum. Az Zaila-i (2/130) mengatakan: Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Ibrahim bin Sa'd dari Sa'id dan Abu Salamah dari Abu Hurairah. Penulis kitab At Tanqih berkata, Dan sanad kedua hadits ini shahih, dan keduanya merupakan nash bahwa qunut (adalah) khusus pada nazilah. Al Hafidz Ibnu Hajar berkata di dalam Ad Dirayah (hal 117) setelah membawakan dua hadits itu, Isnad kedua hadits ini shahih.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">2. Hadits Kedua:</span> Bahwa Muhammad bin al Hanafiyah yaitu Ibnu Ali bin Abi Thalib berkata, Sesungguhnya do'a ini adalah do'a yang dibaca ayahku (Ali bin Abi Thalib) dalam shalat fajar di saat qunut. Riwayat di atas dari Al Baihaqi adalah tidak shahih. Ada riwayat lain yang menyatakan bahwa doa tersebut adalah doa dalam qunut subuh, Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melakukan qunut di dalam shalat subuh dan witir malam dengan kalimat-kalimat ini. Hadits ini diriwayatkan oleh Al Fakihi dan Al Baihaqi dari jalan Abdul Majid, yaitu Ibnu Abdul Aziz bin Abi Rawad dari Ibnu Juraij yang mengatakan, Abdurrahman bin Hurmuz telah menceritakan hadits ini kepadaku. Hadits di atas juga tidak shahih karena Abdul Majid ini lemah dari sisi hafalannya, sedangkan Ibnu Hurmuz dikatakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar bahwa: Keadaanya perlu untuk dibuka (diteliti). Syaikh Al Albani mengatakan, Di dalam jalan menuju Buraid dari yang kedua, yang didalamnya disebutkan qunut shalat subuh, ada perawi yang bernama Ibnu Hurmuz yang telah engkau ketahui keadaanya. Padahal pada jalan lain yang shahih tidak disebutkan. Berdasarkan hal ini maka -menurutku- qunut di dalam shalat subuh dengan menggunakan do'a ini tidak sah. (Irwaul Ghalil II/172-175, hadits no. 429). Adapun doa qunut witir tersebut (yakni -Allahummah dinii fii man hadait ...-) diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Nashr, Ibnul Jarud dan Ath Thabarani di dalam Al Mu'jamul Kabir dari Yunus bin Abi Ishaq dari Buraid bin Abi maryam As Saluli dari Abil Haura' dari Al Hasan bin Ali yang berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah mengajariku beberapa kalimat yang aku ucapkan di dalam qunut witir. dan Isnadnya shahih. 3. Perkataan Imam Nawawi yang menyatakan bahwa doa Umar tersebut beliau ucapkan di saat qunut subuh itu memang benar. Akan tetapi sebenarnya doa tersebut adalah untuk qunut nazilah sebagaimana diketahui dari doa beliau yang memohon kecelakaan atas orang-orang kafir. Imam Nawawi berkata, Ketahuilah bahwa yang diriwayatkan dari Umar, Siksalah orang-orang kafir Ahli Kitab, karena peperangan para sahabat pada waktu itu melawan Ahli Kitab. Adapun sekarang yang dipilih hendaklah mengatakan, Siksalah orang-orang kafir, karena hal itu lebih umum. Dari sini jelaslah bahwa do'a Umar tersebut adalah doa qunut nazilah yang tidak menafikan hal itu dilakukan di saat shalat subuh. Banyak para ulama yang berpendapat tidak disyari'atkannya qunut subuh terus menerus (sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan orang), di antaranya:<br /><br />1. Abu Malik Al Asyja'i, beliau berkata: Aku bertanya kepada bapakku, Wahai bapakku, sesungguhnya engkau telah shalat dibelakang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali di sana, di Kuffah sekitar lima tahun. Apakah mereka semua melakukan qunut fajar? Bapakku menjawab, Hai anakku, itu perkara baru. (HR. Ahmad, Tirmidzi, Nasa-i, Ibnu Majah, Thahawi, Ibnu Abi Syaibah, Thayalisi dan Al Baihaqi dari beberapa jalan dari Abu Malik).<br /><br />2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Oleh karena inilah tatkala Ibnu Umar ditanya tentang qunut (subuh) terus menerus, beliau menjawab, Kami tidak pernah mendengar dan tidak pernah melihat. (Majmu' Fatawa XXIII/101).<br /><br />3. Ishaq Al Harbi berkata: Saya mendengar Abu Tsaur bertanya kepada Abu Abdillah Ahmad bin Hambal, Bagaimana pendapat anda tentang qunut di waktu subuh? Abu Abdillah menjawab, Qunut itu hanyalah di waktu nawazil. (Ash Shalat wa Hukmu Tarikiha: 216 dinukil dari Al Qaulul Mubin:131). Disebutkan di dalam biografi Abul Hasan Al Karji Asy Syafi'i yang wafat pada tahun 532 H bahwa beliau tidak melakukan qunut di dalam shalat subuh (padahal beliau bermadzhab Syafi'i). Dan beliau menyatakan, Di dalam bab itu tidak ada satu haditspun yang shahih. Syeikh Al Albani berkata, Hal ini di antara yang menunjukkan ilmu dan keadilan beliau (Abul Hasan Al Karji Asy Syafi'i). Dan bahwa beliau termasuk orang-orang yang diselamatkan oleh Allah dari cacat-cacat ta'ashub madzhab. Mudah-mudahan Allah menjadikan kita termasuk mereka dengan karunia-Nya dan kemurahan-Nya. Wallahu a'lam bish shawwab.<br /><br />Disarikan dari tulisan Abu Ismail Muslim Al Atsari pada Majalah As Sunnah Edisi 11/Th<br />IV/1421 - 2000Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4268087591193920870.post-4037323886907433882010-06-16T13:06:00.002+07:002011-06-05T13:34:31.336+07:00Keterasingan Sunnah Dan Ahlu Sunnah Di Tengah Maraknya Bid'ah Dan Ahli Bid'ahBismillahirrahmanirrohiim........<br /><br />Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma berkata: "Semua bid'ah sesat walaupun seluruh manusia menganggapnya baik."[1] <br /><br />Ucapan Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma ini menjadi peringatan bagi siapa saja, bahwa kwantitas atau jumlah bukan ukuran kebenaran. Salah satu kaidah yang telah disepakati oleh ulama menyatakan: "Popularitas sebuah perbuatan dan penyebarannya, sama sekali tidak menunjukkan kebolehannya, sebagaimana halnya keterasingan sebuah perbuatan, bukan dalil bahwa perbuatan itu dilarang".<br /><br />Ibnu Muflih mengatakan di dalam kitab Al Adabusy Syar'iyyah (I/263): "Perlu diketahui, banyak perbuatan yang dilakukan oleh mayoritas manusia justru bertentangan dengan syariat. Lalu perbuatan itu menjadi populer di tengah-tengah mereka. Lalu banyak pula manusia yang mengikuti perbuatan mereka tersebut. Satu hal yang sudah jelas bagi seorang yang berilmu ialah menolak hal tersebut, baik diungkapkan lewat perkataan maupun perbuatan. Janganlah ia mundur karena merasa asing dan karena sedikitnya pendukung".<br /><br />Imam an Nawawi rahimahullah berkata: "Janganlah seorang insan terpedaya dengan banyaknya orang-orang yang melakukan perbuatan yang dilarang melakukannya, yaitu orang-orang yang tidak mengindahkan adab-adab Islam. Ikutilah perkataan al Fadhl bin Iyadh, ia berkata: ˜Janganlah merasa asing dengan jalan hidayah karena sedikitnya orang yang melaluinya. Dan jangan pula terpedaya dengan banyaknya orang-orang yang sesat binasa."[2]<br /><br />Abul Wafaa' Ibnu 'Uqail berkata di dalam kitab al Funun: "Siapa saja yang membangun aqidahnya di atas dalil, maka tidak perlu ia berkamuflase untuk menenggang orang lain. Allah berfirman:<br /><br />أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ <br /><br />"Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)" [Ali Imran : 144]<br /><br />Dalam hal ini Abu Bakar ash Shiddiq Radhiyallahu a'nhu termasuk orang yang tetap teguh menghadapi simpang siur pendapat manusia. Tekanan-tekanan dari kanan dan kiri yang kerap kali membuat manusia tergelincir tidaklah membuat beliau Radhiyallahu 'anhu labil atau maju mundur..."<br /><br />Demikianlah seharusnya seorang mukmin yang memegang teguh Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di tengah maraknya bid'ah dan ahli bid'ah. Dia harus memiliki pendirian yang kuat dan tidak terpengaruh dengan tekanan-tekanan di kanan kirinya, yang terkadang membuatnya goyah dan mundur ke belakang. Banyak saudara kita dari kalangan ahlu sunnah menjadi lemah pendiriannya karena merasa terasing di tengah masyarakatnya yang rata-rata sebagai pelaku bid'ah. Dia sering dianggap asing dan aneh. <br />Lalu penyakit futurpun mulai menyerang hatinya, sehingga mulailah sikapnya melemah, sedikit demi sedikit dan lambat laun ia mengikuti bid'ah-bid'ah tersebut. Ambillah pelajaran dari keteguhan sikap Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu dalam menjalankan pesan-pesan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Perlu ia camkan baik-baik, bahwa ia sendirilah yang akan mempertanggung jawabkan amal perbuatannya, bukan orang lain. Jadi, janganlah ia terpengaruh dengan ucapan-ucapan jahil di kanan kirinya. Terutama bagi orang awam yang sering menjadikan jumlah sebagai ukuran. Seperti perkataan mereka, bagaimana dihukumi sesat atau bid'ah, sementara kaum muslimin sejak dahulu sampai sekarang terus melakukannya? Atau perkataan mereka, mungkinkah perbuatan itu disebut bid'ah, padahal banyak orang yang membolehkan dan bahkan mengerjakannya?<br /><br />Banyak sekali ayat yang menjelaskan, jumlah yang banyak sering kali memperdaya manusia. Diantaranya adalah firman Allah:<br /><br />َإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ <br /><br /><span style="font-style:italic;">"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah". [Al An'am : 116].<br /></span><br />قُلْ لا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ<br /><span style="font-style:italic;"><br />"Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan". [Al Maidah : 100].</span><br /><br />Allah Azza wa Jalla telah menegaskan, bahwa manusia yang menentang itu memang lebih banyak jumlahnya:<br /><br />وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ <br /><br />"Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya". [Yusuf:103].<br /><br />Sebaliknya, merupakan sunnatullah bahwa para pengikut kebenaran dan yang tetap teguh di atas perintah Allah itu jumlahnya sedikit. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:<br /><br />وَمَا آمَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ<br /><br />"Dan tidaklah beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit saja".[Huud : 40].<br /><br />Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:<br /><br />إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّاهُمْ<br /><br />"Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih; dan amat sedikitlah mereka ini". [Shad : 24].<br /><br />Allah juga telah menyebutkan salah satu karakteristik pengikut setia ajaran para nabi itu lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan orang-orang yang menentang.<br /><br />إِنَّ هَؤُلآءِ لَشِرْذِمَةٌ قَلِيلُونَ<br /><span style="font-style:italic;"><br />"(Fir'aun berkata): "Sesungguhnya mereka (Bani Israil) benar-benar golongan kecil (sedikit jumlahnya)". [Asy Syu'araa : 54].</span><br /><br />Dan Allah berfirman:<br /><br />وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ<br /><br /><span style="font-style:italic;">"Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih" [Saba' : 13].</span><br /><br />Masih banyak lagi ayat-ayat yang semakna dengan ini.<br /><br />Al Allamah Ibnu Qayyim al Jauziyah berkata di dalam kitab Ighatsatul Lahfaan min Mashaayidis Syaithaan, hlm. 132-135: "Orang yang mempunyai bashirah dan kejujuran, tidaklah merasa asing karena sedikitnya pendukung dan karena kehilangan dukungan. Apabila hatinya merasa telah menyertai generasi awal yang telah Allah beri nikmat atas mereka dari kalangan nabi, para shiddiqin, para syuhada' dan orang-orang shalih, sungguh mereka adalah sebaik-baik penyerta. Keterasingan seorang hamba dalam perjalanannya menuju Allah merupakan bukti ketulusan niatnya". <br /><br />Ishaq bin Rahuyah pernah ditanya tentang sebuah masalah, lalu iapun menjawabnya. Kemudian dikatakan kepadanya: "Sesungguhnya saudaramu, Imam Ahmad bin Hambal juga berpendapat seperti itu". Maka beliau berkata: "Aku kira tidak ada orang lain yang sependapat denganku dalam masalah ini".<br /><br />Setelah nyata kebenaran itu bagimu, maka janganlah merasa asing karena tidak ada orang yang menyertaimu. Karena apabila kebenaran itu bersinar, maka cahayanya akan tampak dan tidak butuh lagi penguat untuk menguatkannya. Hati dapat menilai kebenaran sebagaimana mata dapat melihat matahari. Apabila seseorang telah melihat matahari, maka tidak perlu lagi bukti lain untuk menguatkan pengelihatannya itu.<br /><br />Sungguh baik apa yang dikatakan oleh Abu Muhammad Abdurrahman bin Ismail Abu Syaamah dalam bukunya al Hawaadits wal Bida': "Perintah untuk melazimi jama'ah, maksudnya ialah melazimi kebenaran dan mengikutinya walaupun yang mengikutinya sedikit dan yang menyelisihinya banyak jumlahnya. Karena kebenaran itu ialah yang dipegang oleh jama'ah pertama dari zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sahabat beliau. Jadi, janganlah engkau melihat banyaknya pelaku bid'ah sesudah mereka".<br /><br />Amru bin Maimun al Audi berkata: "Aku menyertai Mu'adz di Yaman, dan aku tidak meninggalkannya hingga aku memakamkan jenazahnya di Syam. Kemudian sesudah itu aku menyertai orang yang paling faqih, Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu. Aku mendengar beliau mengatakan, hendaklah kalian memegang teguh jama'ah. Karena tangan Allah di atas jama'ah. Kemudian suatu hari aku mendengar beliau berkata, nanti kalian akan diperintah oleh para penguasa yang mengakhirkan shalat dari waktunya. Shalatlah kalian tepat pada waktunya, itulah shalat fardhu bagi kalian, lalu shalatlah bersama mereka, dan itu menjadi shalat sunnat bagi kalian," maka aku berkata: "Wahai sahabat Rasulullah, aku belum paham apa yang engkau sampaikan itu". <br /><br />"Apa itu?" selidik beliau. <br /><br />Aku berkata, Engkau suruh aku mengikuti jama'ah dan menganjurkanku kepadanya. Kemudian engkau katakana, Shalatlah sendiri di awal waktu, dan itu menjadi shalat wajib bagi kalian. Lalu shalatlah bersama jama'ah, dan itu menjadi shalat sunnat." <br /><br />Maka Ibnu Mas'ud berkata: "Wahai Amru bin Maimun! Tadinya aku kira engkau adalah orang yang paling paham di kampung ini. Tahukah engkau, apa itu jama'ah?" <br /><br />Aku menjawab: "Tidak!" <br /><br />Beliau berkata: "Sesungguhnya mayoritas manusia itulah yang menyelisihi jama'ah. Sesungguhnya jama'ah itu adalah yang sesuai dengan kebenaran, walaupun engkau seorang diri" [3]. <br /><br />Nu'aim bin Hammad berkata: "Yakni apabila jama'ah manusia sudah rusak, maka hendaklah engkau mengikuti jama'ah awal sebelum rusak, walaupun engkau seorang diri. Karena engkaulah jama'ah di kala itu".<br /><br />Cobalah simak perkataan Imam al Auzaa'i berikut ini: "Hendaklah engkau mengikuti jejak Salaf, walaupun manusia menolakmu. Dan tinggalkanlah pendapat manusia, walaupun mereka menghiasinya dengan kata-kata manis".<br /><br />Demikianlah kondisinya, seperti yang digambarkan oleh al Hasan al Bashri: "Sesungguhnya Ahlu Sunnah adalah yang minoritas jumlahnya pada masa lalu dan pada masa yang akan datang".<br /><br />Seperti itulah kondisi yang dialami oleh al Imam asy Syatibi dalam menghadapi orang-orang pada zamannya. Beliau menuturkan : "Aku dihadapkan kepada dua pilihan. Aku tetap mengikuti sunnah tetapi menyelisihi adat kebiasan manusia. Maka aku pasti mengalami apa yang dialami oleh siapa saja yang menyelisihi adat kebiasaan. Apalagi mereka menganggap adat yang mereka lakukan itu adalah sunnah. Jelas, hal itu merupakan beban yang berat, namun di dalamnya tersedia pahala yang besar. Atau aku mengikuti adat kebiasaan mereka tetapi menyelisihi sunnah dan Salafush Shalih. Maka akupun dimasukkan ke dalam golongan orang-orang sesat, wal iyadzu billah. Hanya saja, aku dipandang telah mengikuti adat, dipandang sejalan dan bukan orang yang menyelisihi. Maka aku lihat, bahwa hancur karena mengikuti sunnah adalah jalan keselamatan. Sesungguhnya manusia itu tidak ada gunanya bagiku nanti di hadapan Allah".<br /><br />Itulah makna dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br /><br />إِنَّ الْإِسْلَامَ بَدَأَ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ غَرِيبًا كَمَا بَدَأَ فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ <br /><br /><span style="font-style:italic;">"Sesungguhnya Islam itu awalnya asing, kemudian akan kembali menjadi asing seperti awalnya, maka beruntunglah orang-orang yang dianggap asing"</span>.<br /><br />Coba simak wasiat Sufyan ats Tsauri rahimahullah berikut ini: "Tempuhlah jalan kebenaran dan janganlah merasa asing karena sedikitnya orang-orang yang melaluinya sehingga membuatmu ragu-ragu".<br /><br />Bukankah ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan tentang perpecahan umat ini menjadi tujuh puluh tiga golongan yang selamat darinya cuma satu golongan saja? Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.<br /><br />افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً <br /><br /><span style="font-style:italic;">"Umat Yahudi terpecah belah menjadi tujuh puluh satu golongan. Umat Nasrani terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umat ini akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan".</span>[4]<br /><br />Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan satu golongan yang selamat itu:<br /><br />كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ <br /><br /><span style="font-style:italic;">"Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu al Jama'ah"</span> [5] <br /><br />Adapun tentang tafsir al jama'ah telah kita sebutkan di atas.<br /><br />Kesimpulannya, janganlah kita terpukau dengan banyaknya bid'ah dan para pelakunya. Jangan pula kita merasa asing dalam mengamalkan Sunnah karena sedikitnya jumlah orang-orang yang mengikutinya. Karena yang menjadi ukuran adalah hujjah dan dalil al Qur`an dan as Sunnah menurut pemahaman Salaf, bukan kwantitas atau jumlah.<br /><br /><span style="font-style:italic;">Maraji : <br />1. Ilmu Ushul Bida', Syeikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid.<br />2. Al I'tishaam, Al Imam asy Syathibi.<br />3. Al Adabusy Syar'iyyah, Ibnu Muflih.<br />4. Syarah Ushul I'tiqad Ahlu Sunnah wal Jama'ah, Al Laalikaai.<br />5. Tafsir Ibnu Katsir.<br />6. Al Bida' al Hauliyah.<br /><br />[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]<span style="font-weight:bold;"></span></span><br />________<br /><span style="font-style:italic;">Footnotes.<br />[1]. Diriwayatkan oleh al Laalikaai (nomor 126), Ibnu Baththah (205), al Baihaqi dalam kitab al Madkhal Ilas Sunan (191), Ibnu Nashr dalam kitab as Sunnah (nomor 70).<br />[2]. Ucapan ini dinukil oleh adz Dzahabi dalam kitab Tasyabbuhil Khasis, halaman 33.<br />[3]. Al-Laalikaai dalam as Sunnah (nomor 160)<br />[4]. Hadits riwayat Ahmad dalam Musnad-nya (II/332), Abu Dawud dalam Sunan-nya (V/4) dalam kitab as Sunnah hadits nomor 4596. Lafazh di atas adalah riwayat Abu Dawud, at Tirmidzi dalam Jami'-nya (IV/134-135) dalam Abwaabul Imaan, hadits nomor 2778, beliau berkata: “Hadits hasan shahih”. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (II/1321) dalam kitab al Fitan hadits nomor 3991 secara ringkas.<br />[5]. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya (II/1322) dalam kitab al Fitan, hadits nomor 3993, dalam az Zawaa-id dikatakan: "Sanadnya shahih dan perawinya tsiqah".<br /></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4268087591193920870.post-28157714274569458812010-06-16T13:06:00.000+07:002010-06-16T13:11:56.397+07:00Keterasingan Sunnah Dan Ahlu Sunnah Di Tengah Maraknya Bid'ah Dan Ahli Bid'ahBismillahirrahmanirrohiim........<br /><br />Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma berkata: "Semua bid'ah sesat walaupun seluruh manusia menganggapnya baik."[1] <br /><br />Ucapan Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma ini menjadi peringatan bagi siapa saja, bahwa kwantitas atau jumlah bukan ukuran kebenaran. Salah satu kaidah yang telah disepakati oleh ulama menyatakan: "Popularitas sebuah perbuatan dan penyebarannya, sama sekali tidak menunjukkan kebolehannya, sebagaimana halnya keterasingan sebuah perbuatan, bukan dalil bahwa perbuatan itu dilarang".<br /><br />Ibnu Muflih mengatakan di dalam kitab Al Adabusy Syar'iyyah (I/263): "Perlu diketahui, banyak perbuatan yang dilakukan oleh mayoritas manusia justru bertentangan dengan syariat. Lalu perbuatan itu menjadi populer di tengah-tengah mereka. Lalu banyak pula manusia yang mengikuti perbuatan mereka tersebut. Satu hal yang sudah jelas bagi seorang yang berilmu ialah menolak hal tersebut, baik diungkapkan lewat perkataan maupun perbuatan. Janganlah ia mundur karena merasa asing dan karena sedikitnya pendukung".<br /><br />Imam an Nawawi rahimahullah berkata: "Janganlah seorang insan terpedaya dengan banyaknya orang-orang yang melakukan perbuatan yang dilarang melakukannya, yaitu orang-orang yang tidak mengindahkan adab-adab Islam. Ikutilah perkataan al Fadhl bin Iyadh, ia berkata: ˜Janganlah merasa asing dengan jalan hidayah karena sedikitnya orang yang melaluinya. Dan jangan pula terpedaya dengan banyaknya orang-orang yang sesat binasa."[2]<br /><br />Abul Wafaa' Ibnu 'Uqail berkata di dalam kitab al Funun: "Siapa saja yang membangun aqidahnya di atas dalil, maka tidak perlu ia berkamuflase untuk menenggang orang lain. Allah berfirman:<br /><br />أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ <br /><br />"Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)" [Ali Imran : 144]<br /><br />Dalam hal ini Abu Bakar ash Shiddiq Radhiyallahu a'nhu termasuk orang yang tetap teguh menghadapi simpang siur pendapat manusia. Tekanan-tekanan dari kanan dan kiri yang kerap kali membuat manusia tergelincir tidaklah membuat beliau Radhiyallahu 'anhu labil atau maju mundur..."<br /><br />Demikianlah seharusnya seorang mukmin yang memegang teguh Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di tengah maraknya bid'ah dan ahli bid'ah. Dia harus memiliki pendirian yang kuat dan tidak terpengaruh dengan tekanan-tekanan di kanan kirinya, yang terkadang membuatnya goyah dan mundur ke belakang. Banyak saudara kita dari kalangan ahlu sunnah menjadi lemah pendiriannya karena merasa terasing di tengah masyarakatnya yang rata-rata sebagai pelaku bid'ah. Dia sering dianggap asing dan aneh. <br />Lalu penyakit futurpun mulai menyerang hatinya, sehingga mulailah sikapnya melemah, sedikit demi sedikit dan lambat laun ia mengikuti bid'ah-bid'ah tersebut. Ambillah pelajaran dari keteguhan sikap Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu dalam menjalankan pesan-pesan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Perlu ia camkan baik-baik, bahwa ia sendirilah yang akan mempertanggung jawabkan amal perbuatannya, bukan orang lain. Jadi, janganlah ia terpengaruh dengan ucapan-ucapan jahil di kanan kirinya. Terutama bagi orang awam yang sering menjadikan jumlah sebagai ukuran. Seperti perkataan mereka, bagaimana dihukumi sesat atau bid'ah, sementara kaum muslimin sejak dahulu sampai sekarang terus melakukannya? Atau perkataan mereka, mungkinkah perbuatan itu disebut bid'ah, padahal banyak orang yang membolehkan dan bahkan mengerjakannya?<br /><br />Banyak sekali ayat yang menjelaskan, jumlah yang banyak sering kali memperdaya manusia. Diantaranya adalah firman Allah:<br /><br />َإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ <br /><br /><span style="font-style:italic;">"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah". [Al An'am : 116].<br /></span><br />قُلْ لا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ<br /><span style="font-style:italic;"><br />"Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan". [Al Maidah : 100].</span><br /><br />Allah Azza wa Jalla telah menegaskan, bahwa manusia yang menentang itu memang lebih banyak jumlahnya:<br /><br />وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ <br /><br />"Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya". [Yusuf:103].<br /><br />Sebaliknya, merupakan sunnatullah bahwa para pengikut kebenaran dan yang tetap teguh di atas perintah Allah itu jumlahnya sedikit. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:<br /><br />وَمَا آمَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ<br /><br />"Dan tidaklah beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit saja".[Huud : 40].<br /><br />Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:<br /><br />إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّاهُمْ<br /><br />"Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih; dan amat sedikitlah mereka ini". [Shad : 24].<br /><br />Allah juga telah menyebutkan salah satu karakteristik pengikut setia ajaran para nabi itu lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan orang-orang yang menentang.<br /><br />إِنَّ هَؤُلآءِ لَشِرْذِمَةٌ قَلِيلُونَ<br /><span style="font-style:italic;"><br />"(Fir'aun berkata): "Sesungguhnya mereka (Bani Israil) benar-benar golongan kecil (sedikit jumlahnya)". [Asy Syu'araa : 54].</span><br /><br />Dan Allah berfirman:<br /><br />وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ<br /><br /><span style="font-style:italic;">"Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih" [Saba' : 13].</span><br /><br />Masih banyak lagi ayat-ayat yang semakna dengan ini.<br /><br />Al Allamah Ibnu Qayyim al Jauziyah berkata di dalam kitab Ighatsatul Lahfaan min Mashaayidis Syaithaan, hlm. 132-135: "Orang yang mempunyai bashirah dan kejujuran, tidaklah merasa asing karena sedikitnya pendukung dan karena kehilangan dukungan. Apabila hatinya merasa telah menyertai generasi awal yang telah Allah beri nikmat atas mereka dari kalangan nabi, para shiddiqin, para syuhada' dan orang-orang shalih, sungguh mereka adalah sebaik-baik penyerta. Keterasingan seorang hamba dalam perjalanannya menuju Allah merupakan bukti ketulusan niatnya". <br /><br />Ishaq bin Rahuyah pernah ditanya tentang sebuah masalah, lalu iapun menjawabnya. Kemudian dikatakan kepadanya: "Sesungguhnya saudaramu, Imam Ahmad bin Hambal juga berpendapat seperti itu". Maka beliau berkata: "Aku kira tidak ada orang lain yang sependapat denganku dalam masalah ini".<br /><br />Setelah nyata kebenaran itu bagimu, maka janganlah merasa asing karena tidak ada orang yang menyertaimu. Karena apabila kebenaran itu bersinar, maka cahayanya akan tampak dan tidak butuh lagi penguat untuk menguatkannya. Hati dapat menilai kebenaran sebagaimana mata dapat melihat matahari. Apabila seseorang telah melihat matahari, maka tidak perlu lagi bukti lain untuk menguatkan pengelihatannya itu.<br /><br />Sungguh baik apa yang dikatakan oleh Abu Muhammad Abdurrahman bin Ismail Abu Syaamah dalam bukunya al Hawaadits wal Bida': "Perintah untuk melazimi jama'ah, maksudnya ialah melazimi kebenaran dan mengikutinya walaupun yang mengikutinya sedikit dan yang menyelisihinya banyak jumlahnya. Karena kebenaran itu ialah yang dipegang oleh jama'ah pertama dari zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sahabat beliau. Jadi, janganlah engkau melihat banyaknya pelaku bid'ah sesudah mereka".<br /><br />Amru bin Maimun al Audi berkata: "Aku menyertai Mu'adz di Yaman, dan aku tidak meninggalkannya hingga aku memakamkan jenazahnya di Syam. Kemudian sesudah itu aku menyertai orang yang paling faqih, Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu. Aku mendengar beliau mengatakan, hendaklah kalian memegang teguh jama'ah. Karena tangan Allah di atas jama'ah. Kemudian suatu hari aku mendengar beliau berkata, nanti kalian akan diperintah oleh para penguasa yang mengakhirkan shalat dari waktunya. Shalatlah kalian tepat pada waktunya, itulah shalat fardhu bagi kalian, lalu shalatlah bersama mereka, dan itu menjadi shalat sunnat bagi kalian," maka aku berkata: "Wahai sahabat Rasulullah, aku belum paham apa yang engkau sampaikan itu". <br /><br />"Apa itu?" selidik beliau. <br /><br />Aku berkata, Engkau suruh aku mengikuti jama'ah dan menganjurkanku kepadanya. Kemudian engkau katakana, Shalatlah sendiri di awal waktu, dan itu menjadi shalat wajib bagi kalian. Lalu shalatlah bersama jama'ah, dan itu menjadi shalat sunnat." <br /><br />Maka Ibnu Mas'ud berkata: "Wahai Amru bin Maimun! Tadinya aku kira engkau adalah orang yang paling paham di kampung ini. Tahukah engkau, apa itu jama'ah?" <br /><br />Aku menjawab: "Tidak!" <br /><br />Beliau berkata: "Sesungguhnya mayoritas manusia itulah yang menyelisihi jama'ah. Sesungguhnya jama'ah itu adalah yang sesuai dengan kebenaran, walaupun engkau seorang diri" [3]. <br /><br />Nu'aim bin Hammad berkata: "Yakni apabila jama'ah manusia sudah rusak, maka hendaklah engkau mengikuti jama'ah awal sebelum rusak, walaupun engkau seorang diri. Karena engkaulah jama'ah di kala itu".<br /><br />Cobalah simak perkataan Imam al Auzaa'i berikut ini: "Hendaklah engkau mengikuti jejak Salaf, walaupun manusia menolakmu. Dan tinggalkanlah pendapat manusia, walaupun mereka menghiasinya dengan kata-kata manis".<br /><br />Demikianlah kondisinya, seperti yang digambarkan oleh al Hasan al Bashri: "Sesungguhnya Ahlu Sunnah adalah yang minoritas jumlahnya pada masa lalu dan pada masa yang akan datang".<br /><br />Seperti itulah kondisi yang dialami oleh al Imam asy Syatibi dalam menghadapi orang-orang pada zamannya. Beliau menuturkan : "Aku dihadapkan kepada dua pilihan. Aku tetap mengikuti sunnah tetapi menyelisihi adat kebiasan manusia. Maka aku pasti mengalami apa yang dialami oleh siapa saja yang menyelisihi adat kebiasaan. Apalagi mereka menganggap adat yang mereka lakukan itu adalah sunnah. Jelas, hal itu merupakan beban yang berat, namun di dalamnya tersedia pahala yang besar. Atau aku mengikuti adat kebiasaan mereka tetapi menyelisihi sunnah dan Salafush Shalih. Maka akupun dimasukkan ke dalam golongan orang-orang sesat, wal iyadzu billah. Hanya saja, aku dipandang telah mengikuti adat, dipandang sejalan dan bukan orang yang menyelisihi. Maka aku lihat, bahwa hancur karena mengikuti sunnah adalah jalan keselamatan. Sesungguhnya manusia itu tidak ada gunanya bagiku nanti di hadapan Allah".<br /><br />Itulah makna dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br /><br />إِنَّ الْإِسْلَامَ بَدَأَ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ غَرِيبًا كَمَا بَدَأَ فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ <br /><br /><span style="font-style:italic;">"Sesungguhnya Islam itu awalnya asing, kemudian akan kembali menjadi asing seperti awalnya, maka beruntunglah orang-orang yang dianggap asing"</span>.<br /><br />Coba simak wasiat Sufyan ats Tsauri rahimahullah berikut ini: "Tempuhlah jalan kebenaran dan janganlah merasa asing karena sedikitnya orang-orang yang melaluinya sehingga membuatmu ragu-ragu".<br /><br />Bukankah ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan tentang perpecahan umat ini menjadi tujuh puluh tiga golongan yang selamat darinya cuma satu golongan saja? Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.<br /><br />افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً <br /><br /><span style="font-style:italic;">"Umat Yahudi terpecah belah menjadi tujuh puluh satu golongan. Umat Nasrani terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umat ini akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan".</span>[4]<br /><br />Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan satu golongan yang selamat itu:<br /><br />كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ <br /><br /><span style="font-style:italic;">"Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu al Jama'ah"</span> [5] <br /><br />Adapun tentang tafsir al jama'ah telah kita sebutkan di atas.<br /><br />Kesimpulannya, janganlah kita terpukau dengan banyaknya bid'ah dan para pelakunya. Jangan pula kita merasa asing dalam mengamalkan Sunnah karena sedikitnya jumlah orang-orang yang mengikutinya. Karena yang menjadi ukuran adalah hujjah dan dalil al Qur`an dan as Sunnah menurut pemahaman Salaf, bukan kwantitas atau jumlah.<br /><br /><span style="font-style:italic;">Maraji : <br />1. Ilmu Ushul Bida', Syeikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid.<br />2. Al I'tishaam, Al Imam asy Syathibi.<br />3. Al Adabusy Syar'iyyah, Ibnu Muflih.<br />4. Syarah Ushul I'tiqad Ahlu Sunnah wal Jama'ah, Al Laalikaai.<br />5. Tafsir Ibnu Katsir.<br />6. Al Bida' al Hauliyah.<br /><br />[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]<span style="font-weight:bold;"></span></span><br />________<br /><span style="font-style:italic;">Footnotes.<br />[1]. Diriwayatkan oleh al Laalikaai (nomor 126), Ibnu Baththah (205), al Baihaqi dalam kitab al Madkhal Ilas Sunan (191), Ibnu Nashr dalam kitab as Sunnah (nomor 70).<br />[2]. Ucapan ini dinukil oleh adz Dzahabi dalam kitab Tasyabbuhil Khasis, halaman 33.<br />[3]. Al-Laalikaai dalam as Sunnah (nomor 160)<br />[4]. Hadits riwayat Ahmad dalam Musnad-nya (II/332), Abu Dawud dalam Sunan-nya (V/4) dalam kitab as Sunnah hadits nomor 4596. Lafazh di atas adalah riwayat Abu Dawud, at Tirmidzi dalam Jami'-nya (IV/134-135) dalam Abwaabul Imaan, hadits nomor 2778, beliau berkata: “Hadits hasan shahih”. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (II/1321) dalam kitab al Fitan hadits nomor 3991 secara ringkas.<br />[5]. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya (II/1322) dalam kitab al Fitan, hadits nomor 3993, dalam az Zawaa-id dikatakan: "Sanadnya shahih dan perawinya tsiqah".<br /></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4268087591193920870.post-85902453959080494092010-06-14T18:35:00.000+07:002010-06-14T18:49:50.022+07:00Riya dan BahayanyaBismillahirrahmanirrahiim...<br /><br />عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ z قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ : إِنَّ اَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَعَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيْكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ ِلأَنْ يُقَالَ جَرِيْءٌ, فَقَدْ قِيْلَ ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى اُلْقِيَ فيِ النَّارِ, وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأََ اْلقُرْآنَ فَأُُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَعَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيْكَ اْلقُرْآنَ, قَالَ:كَذَبْتَ, وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ وَقَرَأْتَ اْلقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِىءٌٌ ، فَقَدْ قِيْلَ ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى اُلْقِيَ فيِ النَّارِ, وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ وَاَعْطَاهُ مِنْ اَصْْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: مَاتَرَكْتُ مِنْ سَبِيْلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيْهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيْهَا لَكَ, قَالَ: كَذَبْتَ ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيْلَ, ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ. رواه مسلم (1905) وغيره<br /><br />Dari Abi Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya : 'Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?' Ia menjawab : 'Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.' Allah berfirman : 'Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca al Qur`an. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya: 'Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?' Ia menjawab: 'Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta aku membaca al Qur`an hanyalah karena engkau.' Allah berkata : 'Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang ‘alim (yang berilmu) dan engkau membaca al Qur`an supaya dikatakan (sebagai) seorang qari' (pembaca al Qur`an yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya : 'Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?' Dia menjawab : 'Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.' Allah berfirman : 'Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.’”<br /><br /><B>TAKHRIJ HADITS</B><br />Hadits ini diriwayatkan oleh :<br /><i>1. Muslim, Kitabul Imarah, bab Man Qaatala lir Riya' was Sum'ah Istahaqqannar (VI/47) atau (III/1513-1514 no. 1905).<br />2. An Nasa-i, Kitabul Jihad bab Man Qaatala liyuqala : Fulan Jari', Sunan Nasa-i (VI/23-24), Ahmad dalam Musnad-nya (II/322) dan Baihaqi (IX/168).<br /><br />Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim dan disetujui oleh adz Dzahabi (I/418-419), Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam tahqiq Musnad Imam Ahmad, no. 8260 dan Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani dalam Shahih at Targhib wat Tarhib (I/114 no. 22) serta dalam Shahih An Nasa-i (II/658 no. 2940).<br /><br />Hadits yang semakna dengan ini diriwayatkan oleh Imam at Tirmidzi dalam Sunan-nya, Kitab Az Zuhud, bab Ma Ja'a fir Riya' was Sum'ah , no. 2382; Tuhfatul Ahwadzi (VII/54 no. 2489); Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya, no. 2482 dan Ibnu Hibban no. 2502 -Mawariduzh Zham'an- dan al Hakim (I/418-419).</i><br /><br />Para perawi hadits ini tsiqah (terpercaya), kecuali Al Walid bin Abil Walid Abu Utsman. Dikatakan oleh al Hafizh, bahwa dia layyinul hadits (lemah haditsnya) dalam Taqribut Tahdzib 2/290 tahqiq Musthafa Abdul Qadir 'Atha'. Perkataan ini keliru, karena Al Walid bin Abdil Walid termasuk perawi Imam Muslim dan dikatakan tsiqah oleh Abu Zur'ah Ar Razi. (Lihat Al Jarhu wat Ta'dil oleh Abu Hatim Ar Razi, juz IX hlm. 19-20).<br /><br />At Tirmidzi berkata mengenai hadits ini : “Hasan gharib”. Sedangkan Imam al Hakim berkata : “Shahihul isnad” dan disetujui oleh Imam adz Dzahabi dalam Mustadrak al Hakim (I/419). Lihat ta'liq Shahih Ibnu Khuzaimah (IV/115).<br /><br />Tatkala Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu mendengar hadits ini, beliau berkata: “Hukuman ini telah berlaku atas mereka, bagaimana dengan orang-orang yang akan datang?” Kemudian beliau menangis terisak-isak hingga pingsan. Setelah siuman, beliau mengusap mukanya seraya berkata : Benarlah Allah dan RasulNya, Allah berfirman :<br /><br />"Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka. Lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan". [Hud : 15-16]. [HR Tirmidzi no. 2382 dan Ibnu Khuzaimah no. 2482].<br /><br /><b>PENJELASAN HADITS</b><br />Nilai amal di sisi Allah diukur dengan ikhlas karena Allah dan sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah n , bukan dengan banyak dan besarnya. Allah berfirman :<br /><br />"Katakanlah : Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Rabb kamu itu adalah Allah yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan jangan mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabb-nya". [al Kahfi : 110].<br /><br />Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Inilah dua landasan amal yang diterima, ikhlas karena Allah dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam”.[1]<br /><br />Hadits di atas menjelaskan tentang tiga golongan manusia yang dimasukkan ke dalam neraka dan tidak mendapat penolong selain Allah l . Mereka membawa amal yang besar, tetapi mereka melakukannya karena riya', ingin mendapatkan pujian dan sanjungan. Pelaku riya' , pada hari yang dibuka dan disibak semua hati, wajahnya diseret secara tertelungkup sampai masuk ke dalam neraka. Nas-alullaha as-Salaamah wal ‘Afiyah. Tiga golongan tersebut ialah:<br /><br /><b>Golongan Pertama :</b> Yaitu kaum yang dianugerahi Allah kesehatan dan kekuatan. Kewajiban mereka seharusnya adalah mencurahkan semuanya untuk Allah dan di jalan Allah dalam rangka mensyukuri nikmat-nikmatNya. Tetapi sayang, setan telah menjadikan mereka mencurahkannya di luar jalan ini. Mereka memang pergi ke medan jihad dan berperang, tetapi tujuan mereka supaya disebut pemberani. Kepada merekalah Allah mengawali pengadilanNya pada hari Kiamat. Lalu Allah memperlihatkan nikmat-nikmatNya yang telah dianugerahkan kepada mereka, seraya bertanya : “Apa yang kamu kerjakan dengan nikat-nikmat itu?” Pada saat itulah Allah membuka rahasia hati mereka seraya berfirman : “Kamu pendusta! Sesungguhnya kamu berperang (berjihad) hanya supaya dikatakan pemberani (pahlawan).” Mereka tidak mampu membantah, karena memang demikianlah kenyataannya. Malaikat pun diperintahkan menarik wajahnya dan melemparkan ke dalam api neraka.<br /><br /><b>Golongan Kedua :</b> Yaitu kaum yang dimuliakan Allah dengan diberi kesempatan untuk menuntut ilmu dan mengajarkannya kepada manusia. Mereka mampu membaca al Qur`an dan mempelajarinya. Seharusnya, dengan ilmu tersebut mereka berniat karena Allah semata sebagai manifestasi rasa syukur kepadaNya atas limpahan rahmatNya. Tetapi sayang, tujuan yang semestinya karena Allah, telah dipalingkan dan dihiasi oleh setan, sehingga mereka berbuat riya' (pamer) dengan ilmu itu di hadapan manusia, agar mendapat pujian, kedudukan, harta dan jabatan. Mereka tidak menyadari, bahwa Allah selalu melihat dan mengetahui apa yang mereka lakukan. Allah mengetahui rahasia yang tersembunyi di hati mereka. Ternyata, mereka belajar, mengajar dan membaca al Qur`an supaya dikatakan sebagai seorang alim, pintar atau yang semisal itu. Sedangkan yang membaca al Qur`an supaya dikatakan qari' atau qari’ah, orang yang bagus dan indah bacaannya. Maka pada hari Kiamat nanti, tidak ada yang mereka peroleh kecuali dikatakan “pendusta”. Mereka hanya terdiam disertai kehinaan, kerugian dan penuh penyesalan. Kemudian Allah menyuruh malaikat agar menyeret dan mencampakkan mereka ke dalam neraka. Wal 'iyadzu billah.<br /><br /><b>Golongan Ketiga : </b>Yaitu kaum yang diberi kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Mereka adalah golongan yang mampu, kaya dan berduit. Kewajiban mereka semestinya bersyukur kepada Allah dengan ikhlas karena Allah semata. Tetapi sayang, mereka shadaqah, infaq, memberikan uang dan mendermakan harta supaya menjadi terkenal dan dikatakan dermawan, karim (yang mulia hatinya), supaya dikatakan orang yang khair (baik). Padahal apa yang mereka katakan di hadapan Allah, bahwa mereka berinfaq, bershadaqah karena Allah adalah dusta belaka. Sungguh telah dikatakan yang demikian itu, dan mereka tidak bisa membantah. Allah mengetahui hati dan tujuan mereka. Kemudian mereka diperintahkan untuk diseret atas mukanya dan dicampakkan ke dalam neraka, dan mereka tidak mendapatkan seorang penolong pun selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. [2]<br /><br />Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang orang yang berperang, orang alim dan dermawan serta siksa Allah atas mereka, ialah karena mereka mengerjakan demikian untuk selain Allah. Dan dimasukkan mereka ke dalam neraka menunjukkan betapa haramnya riya' dan keras siksaannya, serta diwajibkannya ikhlas dalam seluruh amal. Allah berfirman :<br /><br />"Tidaklah mereka diperintahkan melainkan untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus" [al Bayyinah : 5]<br /><br />Keumuman hadits-hadits tentang keutamaan jihad, sesungguhnya diperuntukkan bagi orang yang melaksanakannya karena Allah dengan ikhlas. Demikian pula pujian terhadap ulama dan orang yang berinfaq di segala sektor kebaikan, semua itu terjadi dengan syarat apabila mereka melakukan yang demikian itu semata-mata karena Allah Ta'ala.[3]<br /><br />Demikian mengerikan siksa dan ancaman bagi orang yang berbuat riya' dalam melakukan kebaikan. Mereka berbuat dengan tujuan mengharap pujian dan sanjungan dari manusia. Islam lebih banyak memperhatikan faktor niat (pendorong) suatu amal daripada amal itu sendiri, meskipun kedua-duanya mendapat perhatian.<br /><br />Secara fitrah sudah diketahui, bahwa penipuan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain merupakan perbuatan hina dan dosa yang jelek. Jika penipuan itu dilakukan seorang makhluk terhadap khaliq (pencipta)nya, maka perbuatan itu lebih sangat hina, buruk dan tercela. Perbuatan itu merupakan perbuatan orang yang suka berpura-pura dan berbuat untuk menarik perhatian manusia. Ia memperlihatkan di hadapan mereka seakan-akan dia hanya menghendaki Allah semata. Padahal ia adalah seorang penipu dan pendusta, maka tidak heran jika Allah menghinakannya dengan dimasukkan ke dalam api neraka.<br /><br />Dalam tulisan ini akan dibahas tentang definisi riya', sebab-sebabnya, macamnya, bahayanya dan beberapa hal yang tidak termasuk riya' serta obat penyakit riya'. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat untuk penulis dan para pembaca sekalian.<br /><br /><b>DEFINISI RIYA'</b><br />Secara lughah (bahasa), riya' الرِّيَاءُ adalah mashdar dari kata : رَاءَى – يُرَاءِى – رِءَاءً وَ رِيَاءًا (رَاءَاهُ ) مُرَاءَاةً<br /><br />Perkataan :<br />أَرَاهُ أَنَّهُ مُتَّصِفٌ بِالْخَيْرِ وَ الصَّلاَحِ عَلَى خِلاَفِ مَا هُوَ عَلَيْهِ<br /><br />Berarti : “Ia memperlihatkan bahwasanya ia orang baik, padahal hatinya tidak demikian. Artinya, apa yang nampak berbeda dengan apa yang sebenarnya ada padanya”.[4]<br /><br />Sedangkan secara istilah syar'i, para ulama berbeda pendapat dalam memberikan definisi riya'. Tetapi intinya sama, yaitu<br /><br />أَنْ يَقُوْمَ الْعَبْدُ بِالْعِبَادَةِ الَّتِيْ يَتَقَرَّبُ بِهَا لِلَّهِ لاَ يُرِيْدُ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ بَلْ يُرِيْدُ عَرْضاً دُنْيَوِياًّ<br /><br />"Seorang melakukan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi ia melakukan bukan karena Allah melainkan karena tujuan dunia".[5]<br /><br />Al Qurthubi mengatakan :<br /><br />حَقِيْقَةُ الرِّيَاءِ طَلَبُ مَا فِيْ الدُّنْيَا بِالْعِبَادَةِ ، وَ أَصْلُهُ طَلَبُ الْمَنْزِلَةِ فِيْ قُلُوْبِ النَّاسِ<br /><br />(Hakikat riya' adalah mencari apa yang ada di dunia dengan ibadah dan pada asalnya adalah mencari posisi tempat di hati manusia).[6]<br /><br />Jadi riya' adalah melakukan ibadah untuk mencari perhatian manusia sehingga mereka memuji pelakunya dan ia mengharap pengagungan dan pujian serta penghormatan dari orang yang melihatnya.[7]<br /><br /><b>PERBEDAAN RIYA' DAN SUM'AH</b><br />Imam Bukhari di dalam Shahih-nya membuat bab Ar Riya' was Sum'ah dengan membawakan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:<br /><br />مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللهُ بِهِ . وَمَنْ يُرَائِيْ يُرَائِي اللهُ بِهِ<br /><br />"Barangsiapa memperdengarkan (menyiarkan) amalnya, maka Allah akan menyiarkan aibnya, dan barangsiapa beramal karena riya', maka Allah akan membuka niatnya (di hadapan orang banyak pada hari Kiamat)". [HR Bukhari no. 6499 dan Muslim no. 2987 dari sahabat Jundub bin Abdillah].<br /><br />Perbedaan riya' dan sum'ah ialah, riya' berarti beramal karena diperlihatkan kepada orang lain. Sedangkan sum'ah ialah, beramal supaya diperdengarkan kepada orang lain. Riya' berkaitan dengan indera mata, sedangkan sum'ah berkaitan dengan indera telinga.[8]<br /><br /><b>PERBEDAAN ANTARA RIYA' DAN 'UJUB</b><br />Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) mengatakan : “Seringkali orang menghubungkan antara riya' dan 'ujub. Padahal riya' merupakan perbuatan syirik kepada Allah karena makhluk, sedangkan 'ujub adalah syirik kepada Allah karena nafsu”.[9]<br /><br />Imam Nawawi rahimahullah (wafat th. 676 H) berkata : “Ketahuilah, bahwa keikhlasan niat terkadang dihalangi oleh penyakit 'ujub. Barangsiapa berlaku 'ujub (mengagumi) amalnya sendiri, maka akan terhapus amalnya. Demikian juga orang yang sombong”.[10]<br /><br />'Ujub, menurut bahasa berarti kekaguman, kesombongan atau kebanggaan. Yaitu seorang bangga dengan dirinya atau pendapatnya. Orang yang berlaku 'ujub adalah orang yang tertipu dengan dirinya, ibadahnya dan ketaatannya. Ia tidak mewujudkan makna إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (hanya kepadaMu ya Allah, kami mohon pertolongan). Sedangkan orang yang berlaku riya' tidak mewujudkan maknaإِيَّاكَ نَعْبُدُ (hanya kepada Engkau ya Allah, kami beribadah).<br /><br />Apabila seseorang sudah mewujudkan makna ِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ , maka akan hilang darinya penyakit riya' dan 'ujub.[11]<br /><br />Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :<br /><br />ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ : هَوًى مُتَّبَعٌ ، وَشُحٌّ مُطَاعٌ ، وَ إِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ<br /><br />"Tiga perkara yang membinasakan, yaitu hawa nafsu yang dituruti, kebakhilan (kikir) yang ditaati dan kebanggaan seseorang terhadap dirinya". [HR Abu Syaikh dan Thabrani dalam Mu'jam Ausath. Lihat Shahih Jami'ush Shaghiir no. 3039 dan Silsilah Ahaadits ash-Shahiihah no. 1802]<br /><br /><b>SEBAB-SEBAB RIYA'</b><br />Sebab-sebab yang menjerumuskan manusia ke lembah riya' ada beberapa hal. Pokok pangkal riya' adalah kecintaan kepada pangkat dan kedudukan. Jika hal ini dirinci, maka dapat dikembalikan kepada tiga sebab pokok, yaitu: Pertama. Senang menikmati pujian dan sanjungan. Kedua. Menghindari atau takut celaan manusia. Ketiga. Tamak (sangat menginginkan) terhadap apa yang ada pada orang lain.<br /><br />Hal ini dipertegas dengan riwayat di dalam ash Shahihain, dari hadits Abu Musa al-'Asyari Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata :<br /><br />الرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلْمَغْنَمِ ، وَ الرَّجُلُ يُقاَتِلُ لِيُذْكَرَ ، وَ الرَّجُلُ يُقاَتِلُ لِيُرَى مَكَانُهُ ، فَمَنْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةُ اللهِ أَعْلَى ، فَهُوَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ<br /><br />“Ada seseorang berperang karena rasa fanatisme, berperang dengan gagah berani dan berperang dengan riya'; manakah dari yang demikian itu berada di jalan Allah?” Beliau menjawab: “Barangsiapa yang berperang dengan tujuan agar kalimat Allah yang paling tinggi, maka itulah fi sabilillah”. [HR Bukhari no. 2810 dan Muslim no. 1904 dan selainnya].<br /><br />Makna perkataan orang itu “berperang dengan gagah berani”, yaitu agar namanya disebut-sebut dan dipuji. Makna perkataan “berperang dengan fanatisme (golongan)”, yaitu ia tidak mau dikalahkan atau dihina. Makna perkataan “berperang dengan riya'”, yaitu agar kedudukannya diketahui orang lain, dan hal ini merupakan kenikmatan pangkat dan kedudukan di hati manusia.<br /><br />Boleh jadi seseorang tidak tertarik terhadap pujian, tetapi ia takut terhadap hinaan. Seperti seorang yang penakut di antara para pemberani. Dia berusaha menguatkan hati untuk tidak melarikan diri agar tidak dihina dan dicela. Ada kalanya seseorang memberi fatwa tanpa ilmu karena menghindari celaan supaya tidak dikatakan sebagai orang bodoh. Tiga hal inilah yang menggerakkan riya' dan sebagai penyebabnya.[12]<br /><br /><b>MACAM-MACAM RIYA'</b><br />1. Riya' yang berasal dari badan, seperti memperlihatkan bentuk tubuh yang kurus dan pucat agar tampak telah berusaha sedemikian rupa dalam beribadah dan takut pada akhirat. Atau memperlihatkan rambut yang acak-acakkan (kusut) agar dianggap terlalu sibuk dalam urusan agama sehingga merapikan rambutnya pun tidak sempat., atau dengan memperlihatkan suara yang parau, mata cekung (sayu) dan bibir kering agar dianggap terus-menerus berpuasa. Riya' semacam ini sering dilakukan oleh para ahli ibadah. Adapun orang-orang yang sibuk dengan urusan dunia, maka riya' mereka dengan memperlihatkan badan yang gemuk, penampilan yang bersih, wajah yang ganteng dan rambut yang kelimis.<br /><br />2. Riya' yang berasal dari pakaian dan gaya, seperti menundukkan kepala ketika berjalan, sengaja membiarkan bekas sujud di wajah, memakai pakaian tebal, mengenakan kain wol, menggulung lengan baju dan memendekkannya serta sengaja berpakaian lusuh (agar dianggap ahli ibadah). Atau dengan mengenakan pakaian tambalan, berwarna biru, meniru orang-orang thariqat shufiyyah padahal batinnya kosong (dari keikhlasan). Atau mengenakan tutup kepala di atas sorban supaya orang melihat adanya perbedaan dengan kebiasaan yang ada.<br /><br />Orang-orang yang melakukan riya' dalam hal ini, ada beberapa tingkatan. Di antara mereka ada yang yang mengharap kedudukan di kalangan orang yang baik dengan menampakkan kezuhudan dengan pakaian yang lusuh. Jika dia berpakaian sederhana, namun bersih seperti kebiasaan Salafush Shalih, maka ia merasa seperti hewan korban yang siap disembelih karena dia takut akan dikomentari sebagai “biasanya ia menampakkan kezuhudan, tapi rupanya sudah berbalik dari jalan itu”. Sedangkan riya' para pemuja dunia ialah dengan pakaian yang mahal, kendaraan yang bagus dan perabot rumah yang mewah.<br /><br />3. Riya' dengan perkataan, seperti dalam hal memberi nasihat, peringatan, menghapal kisah-kisah terdahulu dan atsar dengan maksud untuk berdebat atau memperlihatkan kedalaman ilmunya dan perhatiannya terhadap keadaan para salaf. Atau dengan menggerakkan bibir dengan dzikir di hadapan orang banyak, memperlihatkan amarah saat kemungkaran di hadapan orang banyak, membaca al Qur`an dengan suara perlahan dan memperindahnya untuk menunjukkan rasa takut dan kesedihan, atau yang seperti itu. Wallahu a'lam. Sedangkan riya' para pemuja dunia adalah dengan menghapalkan syair-syair atau pepatah dan berpura-pura fasih dalam perkataan.<br /><br />4. Riya' dengan perbuatan, seperti riya' yang dilakukan orang yang shalat dengan memanjangkan bacaan saat berdiri, memanjangkan ruku' dan sujud atau menampakkan kekhusyuan atau yang lainnya. Begitu pula dalam hal puasa, haji, shadaqah dan lain-lain. Sedangkan riya' para pemuja dunia ialah dengan berjalan penuh lagak dan gaya, angkuh, congkak, menggerak-gerakkan tangan, melangkah perlahan-lahan, menjulurkan ujung pakaian; semuanya dimaksudkan untuk menunjukkan penampilan dirinya.<br /><br />5. Riya' dengan teman atau orang-orang yang berkunjung kepadanya, seperti seseorang memaksakan dirinya supaya dikunjungi oleh ulama atau ahli ibadah ke rumahnya, agar dikatakan “si fulan telah dikunjungi ulama dan banyak ulama yang sering datang ke rumahnya”. Ada juga orang yang berlaku riya' dengan banyak syaikh atau gurunya, agar orang berkomentar tentang dirinya “dia sudah bertemu dengan sekian banyak syaikh dan menimba ilmu dari mereka”. Dia berbuat seperti itu untuk membanggakan diri. Begitulah yang biasa dilakukan orang-orang yang berlaku riya' untuk mencari ketenaran, kehormatan dan kedudukan di hati manusia.[13]<br /><br />Kita memohon keselamatan kepada Allah dari semua macam riya' ini. Ya, Allah. Janganlah Engkau sesatkan hati kami setelah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan jauhkanlah diri kami dan amal kami dari riya'. Amin.<br /><br /><b>CIRI-CIRI DAN TANDA-TANDA RIYA'</b><br />Riya' mempunyai ciri dan tanda-tanda sebagaimana kata Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu , bahwa orang yang berlaku riya' memiliki tiga ciri, yaitu : dia menjadi pemalas apabila sendirian, dia menjadi giat jika berada di tengah-tengah orang banyak, dia menambah kegiatan kerjanya jika dipuji dan berkurang jika diejek.[14]<br /><br />Tanda yang paling jelas ialah merasa senang jika ada orang yang melihat ketaatannya. Andaikan orang tidak melihatnya, dia tidak merasa senang. Dari sini diketahui, bahwa riya' itu tersembunyi di dalam hati, seperti api yang tersembunyi di dalam batu. Jika orang melihatnya, maka menimbulkan kesenangan. Dan kesenangan ini bergerak dengan gerakan yang sangat halus, lalu membangkitkannya untuk menampakkan amalnya. Bahkan ia berusaha agar amalnya itu diketahui, baik secara sindirian atau terang-terangan.[15]<br /><br />Diriwayatkan bahwa Abu Umamah al Bahili pernah mendatangi seseorang yang sedang bersujud di masjid sambil menangis ketika berdoa. Kemudian Abu Umamah mengatakan kepadanya : “Apakah engkau lakukan seperti ini jika engkau shalat di rumahmu?” (Teguran dimaksudkan untuk menghilangkan sikap riya').[16]<br /><br /><span style="font-weight:bold;">JEBAKAN DAN PERINGATAN</span><br />Terkadang, seorang hamba bersungguh-sungguh untuk membersihkan diri dari riya', namun ia terjebak dan tergelincir di dalamnya, sehingga ia meninggalkan amal karena takut riya'.<br /><br />Jika seorang hamba meninggalkan amal yang baik dengan maksud supaya terhindar dari riya', maka tidak ragu lagi, bahwa sikap ini adalah sikap yang salah dalam menghadapi riya'.<br /><br />Fudhail bin Iyadh menjelaskan, meninggalkan amal karena manusia adalah riya', sedangkan beramal karena manusia adalah syirik. Ikhlas itu adalah Allah menyelamatkan kita dari keduanya.<br /><br />Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan : “Perkataan Fudhail bahwa orang yang meninggalkan amal karena manusia adalah riya', sebab ia melakukannya karena manusia. Adapun kalau meninggalkan amal karena ingin melakukannya di saat sepi atau sendirian, maka diperbolehkan dan ini sunnah, kecuali dalam perkara yang wajib, seperti shalat wajib lima waktu atau zakat, atau ia seorang alim yang menjadi panutan dalam ibadah, maka menampakkannya adalah afdhal (utama).[17]<br /><br />Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,”Barangsiapa melakukan amal rutin yang disyariatkan, seperti shalat Dhuha, qiyamul lail (shalat tahajud), maka hendaklah dia tetap melakukannya dan tidak seyogyanya ia meninggalkan kebiasaan itu hanya karena berada di tengah-tengah manusia. Hanya Allah-lah yang mengetahui rahasia hatinya, bahwa ia melaksanakannya karena Allah dan ia bersungguh-sungguh berusaha agar selamat dari riya' dan dari hal-hal yang merusak keikhlasan,” kemudian beliau membawakan perkataan Fudhail bin Iyadh seperti di atas.<br /><br />Selanjutnya beliau mengatakan, barangsiapa melarang sesuatu yang disyariatkan hanya berdasarkan anggapan bahwa hal itu adalah riya', maka larangannya itu tertolak berdasarkan beberapa alasan sebagai berikut :<br /><br />1. Amal yang disyariatkan tidak boleh dilarang hanya karena takut riya'. Bahkan diperintahkan untuk tetap dilakukan dengan ikhlas. Bila kita melihat seseorang yang mengerjakan suatu amal yang disyariatkan, kita harus menetapkan bahwa dia melakukannya (atau membiarkannya), kendatipun kita dapat memastikan ia berbuat dengan riya'. Seperti halnya orang-orang munafik yang Allah berfirman tentang mereka :<br /><br />"Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Apabila mereka berdiri shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya' (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali". [an Nisaa` : 142].<br /><br />Mereka (orang-orang munafik) shalat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya membiarkan amal yang mereka tampakkan, meskipun mereka berbuat itu dengan riya' dan tidak melarang perbuatan zhahir mereka. (Artinya, para sahabat tidak melarang mereka shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Pen). Hal itu, karena kerusakan meninggalkan syariat yang mesti ditampakkan jauh lebih berbahaya daripada menampakkan amal tersebut dengan riya'. Sebagaimana meninggalkan iman dan shalat lima waktu lebih besar bahayanya, dibanding dengan meninggalkan amal itu dengan riya'.<br /><br />2. Pengingkaran hanya terjadi pada apa yang diingkari oleh syariat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :<br /><br />…إِنِّيْ لَمْ أُوْمَرْ ، أَنْ أُنَقِّبَ عَلَى قُلُوْبِ النَّاسِ ، وَلاَ أَشُقَّ بُطُوْنَهُمْ…<br /><br />"Sesungguhnya aku tidak diperintah untuk menyelidiki (memeriksa) hati mereka dan tidak pula untuk membedah perut mereka". [HR Bukhari no. 4351, Muslim no. 1064 (144) dan Ahmad (III/4-5) dari Abu Said al Khudri Radhiyallahu 'anhu].<br /><br />Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu mengatakan : “Barangsiapa menampakkan kebaikan, kami akan mencintainya meskipun hatinya berbeda dengan itu. Dan orang yang menampakkan kejelekannya, kami akan membencinya meskipun ia mengaku bahwa hatinya baik”.<br /><br />3. Sesungguhnya membolehkan pengingkaran terhadap hal seperti itu, justru akan membuka peluang kepada ahlus syirk wal fasad (orang yang berbuat syirik dan kerusakan) untuk mengingkari ahlul khair wad diin (orang yang berbuat baik). Apabila mereka melihat orang yang melakukan perkara yang disyariatkan dan disunnahkan, mereka berkata “orang ini telah berbuat riya”. Lalu karena tuduhan ini, orang yang jujur dan ikhlas akan meninggalkan perkara-perkara yang disyariatkan karena takut ejekan, celaan dan tuduhan mereka. Lantas terbengkalailah kebaikan (amal-amal khair) dan tidak terlaksana. Kemudian, hal itu akan menjadi senjata bagi orang-orang yang berbuat syirik untuk tetap dan terus melakukan kegiatan mereka, dan tidak ada seorang pun yang mengingkari. Hal ini merupakan kerusakan yang paling besar.<br /><br />4. Sesungguhnya hal seperti ini merupakan syi'ar (semboyan) orang yang munafik. Mereka selalu mencela orang yang menampakkan amal yang disyariatkan. Allah berfirman :<br /><br />"(Orang-orang munafik) yaitu orang -orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi shadaqah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekadar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina Allah. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka adzab yang pedih". [at Taubah : 79]<br /><br /><span style="font-style:italic;"><br />[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]<br />________<br />Footnote<br />[1]. Tafsir Ibnu Katsir (III/120-121), Cet. Maktabah Daarus Salaam.<br />[2]. Taujihat Nabawiyah 'ala Thariq, karya Dr. Sayyid Muhammad Nuh, Darul Wafa'.<br />[3]. Syarah Muslim (XIII/50-51).<br />[4]. Mu’jamul Wasith (I/320).<br />[5] Al Ikhlas, oleh Dr. Umar Sulaiman al Asyqar, hlm. 94, Cet. Daarun Nafa-is, Th. 1415 H.<br />[6]. Tafsir al Qurthubi (XX/144), Cet. Daarul Kutub al Ilmiyyah, Th. 1420 H.<br />[7]. Fathul Bari (XI/336).<br />[8]. Ibid (XI/336) dan Al Ikhlas, hlm. 95, Dr. Umar Sulaiman al Asyqar.<br />[9]. Majmu' Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (X/227).<br />[10]. Syarah Arbain, hlm. 5.<br />[11]. Al Ikhlas, hlm. 97, Dr. Umar Sulaiman al Asyqar.<br />[12]. Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 284, Ibnu Qudamah al Maqdisi, tahqiq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid.<br />[13]. Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 275-278, Ibnu Qudamah al Maqdisi, tahqiq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid; Ar Riya' wa Atsaruhu As Sayi' fil Ummah, hlm. 17-20.<br />[14]. Al Kabair, Imam adz Dzahabi hlm. 212, tahqiq Abu Khalid Al-Husain bin Muhammad As Sa'idi, Cet. Darul Fikr.<br />[15]. Mukhtashar Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah al Maqdisi, hlm. 280.<br />[16]. Al Kabair, Imam adz Dzahabi, hlm. 211.<br />[17]. Syarah Arbain, Imam Nawawi, hlm. 6.<br />[18]. Majmu' Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (23/174-175). </span><br /><span style="font-style:italic;"><br />*) Copas dari Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4268087591193920870.post-36560700675775174112010-05-26T09:29:00.000+07:002010-05-26T13:30:37.985+07:00Islam adalah agama MuliaAl Baqarah: 132 »<br />Sesungguhnya Allah telah memilih agama islam ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama islam". (QS. 2:132)<br /><br />Ali 'Imran: 19 »<br />Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah agama islam. (QS.3:19)<br /><br />Ali 'Imran: 85 »<br />Barangsiapa mencari agama selain dari agama islam, maka tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. 3:85)<br /><br />Ali Imran :91<br />Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam kekafirannya, maka tidaklah akan diterima dari seseorang diantara mereka emas sepenuh bumi, walaupun dia menebus diri dengan emas (yang sebanyak) itu. Bagi mereka itulah siksa yang pedih dan sekali-kali mereka tidak memperoleh penolong.(QS.3:91)<br /><br />Ali 'Imran: 102 »<br />Janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama islam. (QS. 3:102)<br /><br />ORANG KAFIR / NON ISLAM<br /><br />Al Baqarah: 6 »<br />Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. (QS. 2:6)<br /><br />Al Baqarah: 24 »<br />Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia (kafir) dan batu, yang disediakan bagi orang-orang yang kafir. (QS. 2:24)<br /><br />Al Baqarah: 39 »<br />Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Al Qur'an, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. 2:39)<br /><br />Al Baqarah: 104 »<br />Dan bagi orang-orang yang kafir adalah siksaan yang pedih. (QS. 2:104)<br /><br />Al Baqarah: 212 »<br />Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman (Islam). Padahal orang-orang yang bertaqwa (islam) itu lebih mulia dari pada mereka di hari Kiamat. (QS. 2:212)<br /><br />Al Baqarah: 217 »<br />Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agama (islam), lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. 2:217)<br /><br />Al Baqarah: 257 »<br />Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni nereka; mereka kekal di dalamnya. (QS. 2:257)<br /><br />Ali 'Imran: 4 »<br />Sebelum (al-Qur'an), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan Al-Furqan. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai balasan (siksa). (QS. 3:4)<br /><br />Ali 'Imran: 10 »<br />Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak mereka, sedikitpun tidak dapat menolak (siksa) Allah dari mereka. Dan mereka itu adalah bahan bakar api neraka, (QS. 3:10)<br /><br />Ali 'Imran: 28 »<br />Janganlah orang-orang mu'min mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah. (QS. 3:28)<br /><br />Ali 'Imran: 56 »<br />Adapun orang-orang yang kafir, maka akan Ku-siksa mereka dengan siksa yang sangat keras di akhirat, dan mereka tidak memperoleh penolong. (QS. 3:56)<br /><br />Ali 'Imran: 89 »<br />Kecuali orang-orang yang taubat, sesudah (kafir) itu dan mengadakan perbaikan . Karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 3:89)<br /><br />Ali 'Imran: 90 »<br />Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman (islam), kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima taubatnya; dan mereka itulah orang-orang yang sesat. (QS. 3:90)<br /><br />Ali 'Imran: 116 »<br />Sesungguhnya orang-orang yang kafir baik harta mereka maupun anak-anak mereka, sekali-kali tidak dapat menolak azab Allah dari mereka sedikitpun. Dan mereka adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. 3:116)<br /><br />Ali 'Imran: 131 »<br />Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang kafir. (QS. 3:131)<br /><br />Ali 'Imran: 151 »<br />Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka ialah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang zalim". (QS. 3:151)<br /><br />Ali 'Imran: 177 »<br />Sesungguhnya orang-orang yang menukar iman dengan kekafiran, sekali-sekali mereka tidak akan dapat memberi mudharat kepada Allah sedikitpun; dan bagi mereka azab yang pedih. (QS. 3:177)<br /><br />An Nisaa': 18 »<br />Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan:"Sesungguhnya saya bertaubat sekarang" Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih. (QS. 4:18)<br /><br />An Nisaa': 37 »<br />Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan. (QS. 4:37)<br /><br />An Nisaa': 56 »<br />Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami (Al Qur'an), kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. 4:56)<br /><br />An Nisaa': 89 »<br />Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan diantara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah dan janganlah kamu ambil seorangpun diantara mereka menjadi pelindung, dan jangan pula menjadi penolong, (QS. 4:89)<br /><br />An Nisaa': 137 »<br />Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman, kemudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak pula menunjuki mereka kepada jalan yang lurus. (QS. 4:137)<br /><br />An Nisaa': 140 »<br />Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam neraka jahannam, (QS. 4:140)<br /><br />An Nisaa': 144 »<br />Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) (QS. 4:144)<br /><br />An Nisaa': 151 »<br />Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. (QS. 4:151)<br /><br />An Nisaa': 161 »<br />Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksa yang pedih. (QS. 4:161)<br /><br />An Nisaa': 167 »<br />Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah, benar-benar telah sesat sejauh-jauhnya. (QS. 4:167)<br />Agama Islam itu luhur dan tinggi, dan tidak akan ada yang melebihi (Aidz bin Umar)<br /><br /><br />Sudah jelas bahwa Islam adalah agama Mulia,agama yang nyata,Agama yg benar benar diRIdhai ALLAH,saudara dan saudariku mari kita dekatkan diri kepada ALLAH,ingat selalu ALLAH dimana kita berada.mari kita tegakkan agama ISLAM.kita kerjakan perintah ALLAH dan jauhi larangan-NYA..<br />JANGAN PERNAH MERAGUKAN ISLAM.!!!!<br />MARI KITA TEGAKKAN AGAMA ALLAH(AGAMA ISLAM)..ALLAHUAKBAR..!!!!!!!!!!!!!!!!!Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4268087591193920870.post-72175544081948081062010-05-04T10:58:00.001+07:002012-02-05T12:59:36.013+07:00Perbedaan Gerakan Dalam Sholat<span style="font-weight:bold;"><br />Perbedaan Gerakan Dalam Sholat<br />Oleh Lilik Kholikul Muluk<br />Jakarta, 04 Mei 2010</span><br /><br />Gerakan sholat memang harus mengikuti yang dicontohkan Rasulullah, ada suatu kisah dalam hadist:<br /><br /><span style="font-style:italic;">Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi SAW masuk ke dalam masjid, lalu ada seorang laki-laki masuk untuk melakukan shalat, setelah itu ia dating kepada Nabi dengan mengucapkan salam, lalu Nabi menolak orang itu dan bersabda : “Ulangilah kembali shalatmu, karena sesungguhnya kamu belum shalat?, lalu ia shalat dan setelah itu dating kepada Nabi dengan mengucapkan salam, kemudian beliau bersabda lagi : “Ulangilah shalat”. Hingga tida kali beliau menyuruh mengulangi. Lalu orang itu berkata : “Demi Dzat yang telah mengutus Engkau dengan benar, aku tidak tahu cara shalat yang lebih baik selain itu, maka berilah aku pelajaran”. Kemudian beliau bersabda : “Apabila kamu berdiri untuk shalat, maka bertakbirlah kemudian bacalah apa yang mudah menurutmu dari ayat-ayat Al-Qur’an, kemudian rukuklah hingga kamu tenang dalam rukuk itu, kemudian bangkitlah hingga berdiri tegak, kemudian duduklah hingga kamu tenang dalam duduk itu, kemudian sujudlah hingga kamu tenang dalam sujud itu. Kemudian kerjakanlah itu, dalam setiap shalatmu</span>”. (HR : Bukhori)<br /><br /><span style="font-style:italic;">Rasulullah SAW bersabda. Shalatlah kalian sesuai dengan apa yang kalian lihat aku mempraktikkannya</span>. (HR Bukhari-Muslim).<br /><br />Kalau seandainya ada perbedaan gerakan2 dalam sholat, harus diperhatikan bahwa semua harus berdasar pada sunah nabi, kalau tidak berdasar bid'ah hukumnya.<br />seperti /diantaranya contoh gerakan dalam sholat :<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Letak tangan ketika duduk</span><br /><br />Untuk kedua cara duduk tersebut tangan kanan ditaruh di paha kanan sambil berisyarat dan/atau menggerak-gerakkan jari telunjuk dan penglihatan ditujukan kepadanya, sedang tangan kirinya ditaruh/terhampar di paha kiri.<br /><br />Dari Ibnu ‘<span style="font-style:italic;">Umar berkata Rasulullahi shallallahu ‘alaihi wa sallam bila duduk didalam shalat meletakkan dua tangannya pada dua lututnya dan mengangkat telunjuk yang kanan lalu berdoa dengannya sedang tangannya yang kiri diatas lututnya yang kiri, beliau hamparkan padanya</span>.” (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Nasa-i).<br /><br />Jadi Berisyarat dengan telunjuk, bisa digerakkan bisa tidak.<br />Selama melakukan duduk tasyahhud awwal maupun tasyahhud akhir,berisyarat dengan telunjuk kanan, disunnahkan menggerak-gerakkannya.Kadang pada suatu sholat digerakkan pada sholat lain boleh juga tidakdigerak-gerakkan.<br /><br />“<span style="font-style:italic;">Kemudian beliau duduk, maka beliau hamparkan kakinya yang kiri dan menaruh tangannya yang kiri atas pahanya dan lututnya yang kiri danujung sikunya diatas paha kanannya, kemudian beliau menggenggamjari-jarinya dan membuat satu lingkaran kemudian mengangkat jari beliau maka aku lihat beliau menggerak-gerakkannya berdo’a dengannya</span>.”(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasa-i).<br /><br />“<span style="font-style:italic;">Dari Abdullah Bin Zubair bahwasanya ia menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan jarinya ketika berdoa dan tidak menggerakannya</span>.”(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud).<br /><br />Masih banyak gerakan/posisi yang berbeda, tetapi tidak masalah kalau masih berdasar sunah rasulullah.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Berkesimpulan </span><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Pertama</span>, yang terpenting adalah bukan gerakannya gimana atau gimananya yang penting gerakan sholat tersebut ada dasarnya dari yang di contohkan Rasulullah dalam hadist, dan justru yang penting Sholat Lima waktu di jalanin nggak ?, sukur2 bisa tepat waktu nya, dan sukur2 bisa selalu berjama`ah di Masjid (bagi laki-laki).<br />kalau masalah yang “furu`” ( baca: cabang/perbedaan/variatif/yang tidak prinsip ) <br />ada istilah “aT-TanaWa`uL `ibadah” ( warna warni/variatif/perbedaan dalam beribadah ( termasuk masalah sholat) ini bisa di konsultasikan ke Ulama yang kamu kenal/jelas kredibilitas nya yang qualify juga ke ulamaannya. banyak sekali memang “at-Tanawa” dalam sholat itu sendiri, tapi kita jangan lalu ber persepsi ttg “siapa yang paling benar” lalu “menyalahkan yang lain”, bahkan mengkafirkan golongan lain, Naudzu billlah.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Kedua</span>, kalau gerakan sholat sudah mengada2 (tidak berdasar contoh rasulullah) itu sudah termasuk bid’ah. di masyarakat Indonesia begitu banyak gerakan2 yang termasuk bid’ah, misalnya membaca Usholi sebelum takbir, adalah bid’ah karena rasulullah tidak mengajarkan niat dalam Usholi, tetapi yang diajarkan adalah langsung takbiratul ikhram (tidak ada riwayat Rasulullah melakukan membaca Usholi atau dlam hati. Arti sholat secara istilah adalah bermakna serangkaian kegiatan ibadah khusus atau tertentu yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam., jadi Usholi tidak termasuk.<br /><br />Contoh lain aktifitas bid’ah dalam sholat, selesai sholat bukan berdoa, tetapi berdzikir, masyarakat di sini kebanyakan adalah membaca doa, yang benar menurut ajaran Rasulullah adalah Berdzikir.<br /><br />Wallahu a’lamUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4268087591193920870.post-57244872109393673022010-03-15T14:44:00.000+07:002010-03-15T14:55:09.112+07:00BERCAMPUR MAZHABSeringkali orang salah persepsi dalam memandang mazhab fiqih. Seolah mazhab-mazhab itu pecahan umat untuk saling bertentangan dalam segala hal.<br /><br />Padahal sesungguhnya munculnya mazhab itu boleh dibilang justru sebagai sarana untuk memudahkan umat dalam memahami nash-nash syariah. Sebab tidak semua orang mampu menarik kesimpulan hukum. Tidak semua orang mampu untuk berijtihad sesuai dengan kaidahnya.<br /><br />Bukhori Bermazhab Juga<br /><br />Jangan dikira bahwa mazhab itu hanya untuk orang-orang awam saja, bahkan para ulama besar pun juga bermazhab. Di dalam kitab Al-Imam Asy-Syafi''i bainal mazhabaihil Qadim wal Jadid, Dr. Nahrawi Abdussalam menuliskan bahwa di antara para pengikut mazhab Syafi''i adalah Al-Imam Al-Bukhari, seorang tokoh ahli hadits yang kitabnya tershahih di dunia setelah Al-Quran.<br /><br />Al-Bukhari memang tokoh ahli hadits dan paling kritis dalam menyeleksi hadits. Namun beliau bukan ahli ijtihad yang mengistimbath hukum sendiri sampai setingkat mujtahid mutlak. Dalam masalah menarik kesimpulan hukum, beliau menggunakan metodologi yang digunakan dalam mazhab Syafi''i. Dengan demikian beliau adalah salah satu ulama besar yang bermazhab, yaitu mazhab Syafi''i.<br /><br />Ada juga di antara murid mazhab As-Syafi''i yang kemudian naik derajatnya sampai mampu menciptakan metodologi istimbath sendiri, sehingga beliau kemudian mendirikan sendiri mazhabnya, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal. Marahkah As-Syafi''i mengetahui muridnya mendirikan mazhab sendiri? Beliau berkomentar, "Aku tinggalkan Baghdad dan tidak ada orang yang lebih faqih dari Imam Ahmad bin Hanbal."<br /><br />Kalau saja jumlah nash-nash syariah itu hanya 6.000-an ayat Quran plus 5.000-an hadits shahih Bukhari, tentu saja mudah sekali buat setiap orang untuk beragama. Tetapi ketahuilah bahwa bahwa nash-nash syariat jauh lebih banyak dari semua itu. Al-Quran memang hanya 6.000-an ayat saja, tapi bagaimana dengan hadits nabawi? Apakah hadits itu hanya shahih bila Bukhari saja yang mengatakannya? Tentu saja tidak, sebab imam Bukhari itu hanya satu dari sekian ratus atau sekian ribu muhaddits yang ada di dunia ini. Salah besar bila kita beranggapan hanya hadits Bukhari saja yang benar dan semua hadits selain yang terdapat dalam kitab shahihnya harus ditolak.<br /><br />Ini baru dari sisi jumlah sumber nash syariah, padahal masalah hukum agama ini tidak semata-mata ditentukan oleh nash-nash saja, namun lebih jauh dari itu, setiap nash itu masih harus diteliti kekuatan derajatnya, lalu dikomparasikan antara satu dengan lainnya.<br /><br />Mengapa harus demikian?<br /><br />Sebab begitu banyak nash-nash syariah itu yang sekilas antara satu dengan yang lain saling berbeda, bukan hanya redaksinya tetapi sampai pada masalah esensinya. Bayangkan, ada dua nash yang sama-sama shahih, keduanya tercantum di dalam kitab Shahih Bukhari, tapi yang satu mengatakan haram dan yang lain bilang halal. Kalau sudah demikian, kita akan bilang apa?<br /><br />Tentu perlu sebuah kajian mendalam dari segala sisi, serta kemampuan khusus dalam melakukannya. Minimal orang yang melakukan kajian ini punya kemampuan untuk berijtihad sampai pada tingkat tertentu. Dan harus ada logika yang kuat untuk bisa mengatakan kesimpulan akhirnya, apakah hukukmnya halal atau haram.<br /><br />Lalu kepada siapakah kita menyerahkan masalah ini? Adakah suatu dewan pakar yang mau mengerjakanannya dengan teliti, cermat dan lengkap?<br /><br />Jawabnya, para ulama mazhab-mazhab itulah yang telah berjasa besar untuk melakukan ''mega proyek'' itu. Dan mereka -alhamdulillah- adalah orang-orang yang shalih, pakar, ahli, jenius serta ikhlas, karena tidak pernah minta bayaran.<br /><br />Masa perkembangan mazhab-mazhab besar dunia fiqih dimulai pada kira-kira setengah abad setelah kepergian nabi SAW, yaitu sejak tahun 97 Hijriyah. Ditandai dengan kelahiran Imam Mazhab pertama yaitu Abu Hanifah rahimahullah, yang telah berhasil memadukan antara dalil nash Quran dan sunnah sesuai dengan logika nalar hukum. Kemudian diikuti oleh Imam Malik, Imam As-syafi''i dan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahumullah. Mereka semua adalah guru dari umat Islam, karena merekalah yang telah berjasa melakukan isitmbath hukum dari Al-Quran dan Sunnah,sehingga bisa menguraikan hukum-hukum Islam secara detail, rinci, lengkap, bahkan meliputi semua aspek kehidupan.<br /><br />Bahkan mereka telah meletakkan dasar-dasar istimbath hukum, yang kemudian menjadi modal sekaligus model bagi seluruh ulama di dunia untuk melakukannya. Nyaris boleh dibilang bahwa tidak ada ulama yang mampu melakukan istimbath hukum yang berbeda, kecuali menggunakan salah satu metode yang telah mereka rintis.<br /><br />Karena itulah keempat mazhab mereka tetap bertahan sampai ribuan tahun, bahkan berhasil menjadi sebuah disiplin ilmu yang abadi sepanjang zaman.<br /><br />Perbedaan Mazhab<br /><br />Namun yang menarik, meski masing-masing punya metode istimbath hukum yang terkadang berbeda, tetapi sebenarnya hubungan anterpersonal di antara mereka sangat dekat. Jauh dari gambaran sekte-sekte agama Kristen yang justru saling berbunuhan. Mereka justru saling berguru dan saling membangkan guru dan muridnya. Dan yang terpenting, tidak ada satu pun yang melecehkan pendapat guru ata muridnya. Semua sangat menghormati bukan sekedar basa-basi, tapi langsung dari hati.<br /><br />Adapun perbedaan pendapat di antara mereka memang sangat mungkin terjadi. Bukankah dahulu di masa nabi SAW sekalipun, seringkali para shahabat saling berbeda pendapat dalam menarik kesimpulan hukum. Kurang apa shalihnya para shahabat itu? Tapi urusan berpendapat dalam masalah ijtihad, seorang Umar ra bisa saja tidak sependapat dengan ijtihad nabi Muhammad SAW, kecuali bila wahy yang turun.<br /><br />Bahkan para nabi utusan Allah, tidak luput dari perbedaan pandangan dalam masalah hukum. Mereka acap kali punya sudut pandang yang brbeda, meski sama-sama menerima wahyu dari Allah.<br /><br />Termasuk juga para malaikat yang maksum itu, banyak diriwayatkan mereka pun suka berbeda pendapat. Misalnya dalam kasus masuk surganya seorang penjahat yang telah membunuh 100 nyawa. Malaikat Rahman ingin membawanya ke surga, tapi malaikat azab ingin membawanya ke neraka. Malaikat pun bisa berbeda pendapat sesama mereka.<br /><br />Maka kalau para shahabat mungkin berbeda pendapat, para nabi sering berbeda pendapat, bahkan para malaikat dimungkinkan berbeda pendapat, sangat manusiawi bila para imam mazhab masing-masing punya keistimewaan khas dalam menarik kesimpulan hukum atas jutaan butir nash-nash syariah.<br /><br />Semua sangat dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan para imam itu, termasuk sosio-kultural mereka, kebiasaan, ketersediaan bahan baku, bahkan hasil-hasil temuan di bidang iptek.<br /><br />Tidak Ada yang Paling Shohih<br /><br />Mungkin akan muncul pertanyaan, kalau mazhab-mazhab itu ada dan diakui keberadaannya, lalu manakah yang paling shahih?<br /><br />Jawabnya kesemuanya shahih, dalam arti kesemuanya merupakan hasil-hasil ijtihad luar biasa para ulama, yang sudah dijamin keabasahannya. Boleh dibilang kesemuanya shohih dan kesemuanya benar. Siapa pun muslim berhak bermazhab dengan salah satu dari mazhab itu, atau mengambil satu pendapat dari sekian banyak pendapat dari masing-masing mazhab.<br /><br />Kita ibarat masuk ke sebuah Hypermarket raksasa, di mana di dalamnya dipenuhi dengan beragam barang kebutuhan yang tentunya sudah diseleksi. Ada berbagai macam barang dengan berbagai macam merek dan vendor yang tersedia. Tentu saja semua sudah lulus seleksi dan uji coba. Masing-masing tentu dengan ciri dan keistimewaan masing-masing. Tinggal selera kita saja yang menentukannya. Dan tidak perlu kita memaksakan selera pribadi kepada orang lain. Sebab lidah tiap orang tidak sama, demikian juga kebutuhan masing-masing juga tidak sama.<br /><br />Tapi bagaimana kalau ada mazhab yang kurang shahih atau malah sesat?<br /><br />Tentu saja secara alami akan tersingkir dari panggung sejarah. Dahulu sebenarnya bukan hanya ada 4 mazhab itu saja, tapi puluhan bahkan lebih banyak lagi. Tapi secara seleksi alam, yang berhasil bertahan hanya 4 mazhab itu saja.<br /><br />Kalau kita ibaratkan dengan hypermarket tadi, kira-kira konsumen sudah tahu mana produk yang berkualitas dan mana yang hanya ''ecek-ecek'' saja. Segera barang yang kurang berkualitas akan tidak laku di pasaran dan akhirnya tidak diproduksi lagi.<br /><br />Tapi Bolehkah Kita Gonta-ganti Mazhab Atau Mengambil Pendapat Secara Acak?<br /><br />Sebenarnya Rasulullah SAW tidak pernah menetapkan kepada kita bahwa kalau sudah bertanya kepada si A, maka jangan lagi bertanya kepada si B. Perintah beliau adalah bertanyalah kepada orang yang sesuai dengan keahliannya. Meski orang itu ada banyak, tidak jadi soal. Bahkan semakin banyak alternatif jawabannya, semakin baik. Karena kita bisa melakukan perbandingan atas semua jawaban itu.<br /><br />Dengan logika hypermart di atas, sangat dibolehkan kita membeli barang dari produsen yang berbeda, yang penting sesuai dengan kebutuhan kita. Tidak ada kewajiban untuk hanya membeli dari satu produsen saja.<br /><br />Meski juga tidak ada larangan bisa seseorang merasa cocok dengan satu merek dan tidak mau menggantinya dengan merek lain. Maka mulai dari pakaian, kendaraan, makanan, termasuk alat elektronik miliknya, berasal dari satu produsen yang sama.<br /><br />Maka Islam membolehkan seseorang berpegang pada satu mazhab saja, kalau memang dia rela dan menginginkannya. Tapi jangan sampai selera pribadinya itu dipaksakan kepada orang lain.<br /><br />Bukankah perbedaan mazhab ini sering jadi faktor pemicu perpecahan?<br /><br />Alih-alih meributkan perbedaan pandangan antar mazhab, kita justru sangat berbahagia dan sangat diuntungkan dengan adanya perbedaan pandangan dari berbagai mazhab.<br /><br />Sebab dunia Islam itu sangat luas, membentang dari ujung barat Maroko sampai ujung Timur Marauke, pastilah muncul berbagai macam perbedaan keadaan masyarakat. Dan semua itu pasti membutuhkan jawaban syariah yang tepat.<br /><br />Dengan kekayaan khazanah intelektual warisan dari para pendiri mazhab itu, kita dengan mudah bisa menyelesaikan banyak persoalan. Kesemuanya sah dan benar, tinggal menyesaikannya dengan beragam tipe masalah.<br /><br />Hanya mereka yang terlalu awam dan kurang punya wawasan yang baik, yang mau-maunya berantem dengan sesama muslim hanya lantaran perbedaan mazhab. Memang sangat kita sayangkan masih adanya kalangan yang demikian. Misalnya, begitu dia melihat saudaranya shalat tidak sama dengan cara shalatnya, langsung dicaci dan dimakinya, bahkan tudingan ahli bid''ah pun bertubi-tubi dilontarkan kepadanya. Padahal ilmu yang dimiliki hanya terbatas pada satu dua rujukan saja, namun lagak dan gayanya seperti mufti kerajaan. Nauzu billahi min zalik.<br /><br />Padahal meski seandainya di dunia ini hanya ada satu sumber nash syariah saja, misalnya hanya ada Al-Quran saja, pastilah umat Islam tetap berbeda pendapat dalam menarik kesimpulan hukum.<br /><br />Padahal kita punya jutaan sumber nash syariah, dengan beragam kemungkinan nilai derajat keshahihannya, dengan beragama esensi kandungan materinya, dengan beragam redaksinya, semuanya hanya akan sampai kepada satu titik, yaitu perbedaan pendapat.<br /><br />Kalau setiap perbedaan pendapat harus ditanggapi dengan cacian, makian, tuduhan ahli bid''ah dan seterusnya, ketahuilah bahwa semua itu justru mencerminkan kedangkalan ilmu para pelakunya. Sama sekali tidak menggambarkan keulamaannya.<br /><br />Wallahu a''lam bishshawab, wassalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,<br /><br />Ahmad Sarwat, Lc.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4268087591193920870.post-44180734480458111892010-03-11T19:13:00.000+07:002010-03-15T09:51:55.569+07:00Sejarah Peringatan Maulid Nabi Shallallahu `alaihi Wasallam<div style="text-align: justify;"><br /><span style="font-weight: bold; font-family: arial;">a. Sejarah peringatan maulid:</span><br /><br />Seluruh ulama sepakat bahwa maulid Nabi tidak pernah diperingati pada masa Nabi shallallahu `alaihi wasallam hidup dan tidak juga pada masa pemerintahan khulafaurrasyidin.<br /><br />Lalu kapan dimulainya peringatan maulid Nabi dan siapa yang pertama kali mengadakannya?<br /><br />Al Maqrizy (seorang ahli sejarah islam) dalam bukunya "Al khutath" menjelaskan bahwa maulid Nabi mulai diperingati pada abad IV Hijriyah oleh Dinasti Fathimiyyun di Mesir.<br /><br />Dynasti Fathimiyyun mulai menguasai mesir pada tahun 362 H dengan raja pertamanya Al Muiz lidinillah, di awal tahun menaklukkan Mesir dia membuat enam perayaan hari lahir sekaligus; hari lahir ( maulid ) Nabi, hari lahir Ali bin Abi Thalib, hari lahir Fatimah, hari lahir Hasan, hari lahir Husein dan hari lahir raja yang berkuasa.<br /><br />Kemudian pada tahun 487 H pada masa pemerintahan Al Afdhal peringatan enam hari lahir tersebut dihapuskan dan tidak diperingati, raja ini meninggal pada tahun 515 H.<br /><br />Pada tahun 515 H dilantik Raja yang baru bergelar Al amir liahkamillah, dia menghidupkan kembali peringatan enam maulid tersebut, begitulah seterusnya peringatan maulid Nabi shallallahu `alaihi wasallam yang jatuh pada bulan Rabiul awal diperingati dari tahun ke tahun hingga zaman sekarang dan meluas hampir ke seluruh dunia.<br /><br />b.Hakikat Dynasti Fathimiyyun:<br /><br />Abu Syamah (ahli hadist dan tarikh wafat th 665 H) menjelaskan dalam bukunya "Raudhatain" bahwa raja pertama dinasti ini berasal dari Maroko dia bernama Said, setelah menaklukkan Mesir dia mengganti namanya menjadi Ubaidillah serta mengaku berasal dari keturunan Ali dan Fatimah dan pada akhirnya dia memakai gelar Al Mahdi. Akan tetapi para ahli nasab menjelaskan bahwa sesungguhnya dia berasal dari keturunan Al Qaddah beragama Majusi, pendapat lain menjelaskan bahwa dia adalah anak seorang Yahudi yang bekerja sebagai pandai besi di Syam.<br /><br />Dinasti ini menganut paham Syiah Bathiniyah; diantara kesesatannya adalah bahwa para pengikutnya meyakini Al Mahdi sebagai tuhan pencipta dan pemberi rezki, setelah Al Mahdi mati anaknya yang menjadi raja selalu mengumandangkan kutukan terhadap Aisyah istri rasulullah shallallahu `alaihi wasallam di pasar-pasar. <br /><br />Kesesatan dinasti ini tidak dibiarkan begitu saja, maka banyak ulama yang hidup di masa itu menjelaskan kepada umat akan diantaranya Al Ghazali menulis buku yang berjudul "Fadhaih bathiniyyah (borok aqidah Bathiniyyah)" dalam buku tersebut dalam bab ke delapan beliau menghukumi penganutnya telah kafir , murtad serta keluar dari agama islam.<br /><br />c. Hukum perayaan maulid Nabi:<br /><br />Sebenarnya, dengan mengetahui asal muasal perayaan maulid yang dibuat oleh sebuah kelompok sesat tidak perlu lagi dijelaskan tentang hukumnya. Karena saya yakin bahwa seorang muslim yang taat pasti tidak akan mau ikut merayakan perhelatan sesat ini.<br /><br />Akan tetapi mengingat bahwa sebagian orang masih ragu akan kesesatan perhelatan ini maka dipandang perlu menjelaskan beberapa dalil ( argumen ) yang menyatakan haram hukumnya merayakan hari maulid Nabi shallallahu `alaihi wasallam.<br /><br />Diantara dalilnya:<br /><br />1. Allah taala berfirman:<br /><br />Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Q.S. Al Maidah: 3 ).<br /><br />Ayat di atas menjelaskan bahwa agama islam telah sempurna tidak boleh ditambah dan dikurangi, maka orang yang mengadakan perayaan maulid Nabi yang dibuat setelah rasulullah shallallahu `alaihi wasallam wafat berarti menetang ayat ini dan menganggap agama belum sempurna masih perlu ditambah. Sungguh peringatan maulid bertentangan dengan ayat di atas.<br /><br />2. Sabda Nabi shallallahu `alaihi wasallam :<br /><br />( إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ) رواه أبو داود والترمذي<br /><br />Hindarilah amalan yang tidak ku contohkan (bid`ah), karena setiap bid`ah menyesatkan”. HR. Abu Daud dan Tarmizi.<br /><br />Peringatan maulid Nabi tidak pernah dicontohkan Nabi, berarti itu adalah bi'dah, dan setiap bi'dah adalah sesat, berarti maulid peringatan Nabi adalah perbuatan sesat.<br /><br />3. Sabda Nabi shallallahu `alaihi wasallam :<br /><br />(( مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ )) متفق عليه ، وفي رواية لمسلم (( مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌ ))<br /><br />“Siapa yang menghidupkan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dalam dien kami, amalannya ditolak.” Muttafaq ’alaih<br /><br />Dalam riwayat Muslim: “Siapa yang mengamalkan perbuatan yang tidak ada dasarnya dalam dien kami, amalannya ditolak.”<br /><br />Dua hadist di atas menjelaskan bahwa setiap perbuatan yang tidak dicontoh Nabi tidak akan diterima di sisi Allah subhanahu wa ta'ala, dan peringatan maulid Nabi tidak dicontohkan oleh Nabi berarti peringatan maulid Nabi tidak diterima dan ditolak.<br /><br />4. Sabda Nabi shallallahu `alaihi wasallam:<br /><br />(( مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ )) رواه أبو داود<br /><br /> Barang siapa yang meniru tradisi suatu kaum maka dia adalah bagian dari kaum tersebut. HR. Abu Daud.<br /><br /> Tradisi peringatan hari lahir Nabi Muhammad meniru tradisi kaum Nasrani merayakan hari kelahiran Al Masih (disebut dengan hari natal) , maka orang yang melakukan peringatan hari kelahiran Nabi bagaikan bagian dari kaum Nasrani -wal 'iyazubillah-.<br /><br />5. Peringatan maulid Nabi sering kita dengar dari para penganjurnya bahwa itu adalah perwujudan dari rasa cinta kepada Nabi. Saya tidak habis pikir bagaimana orang yang mengungkapkan rasa cintanya kepada Nabi dengan dengan cara melanggar perintahnya, karena Nabi telah melarang umatnya berbuat bidah. Ini laksana ungkapkan oleh seorang penyair:<br /><br />لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقاً لَأَطَعْتَـهُ إِنَّ المُحِبَّ لِمَنْ أَحَبَّ مُطِيْـعُ<br /><br />Jikalau cintamu kepadanya tulus murni, niscaya engkau akan mentaatinya.<br /><br />Karena sesungguhnya orang yang mencintai akan patuh terhadap orang yang dicintainya<br /><br />6. Orang yang mengadakan perhelatan maulid Nabi yang tidak pernah diajarkan Nabi sesungguhnya dia telah menuduh Nabi telah berkhianat dan tidak menyampaikan seluruh risalah yang diembannya.<br /><br />Imam Malik berkata," orang yang membuat suatu bidah dan dia menganggapnya adalah suatu perbuatan baik, pada hakikatnya dia telah menuduh Nabi berkhianat tidak menyampaikan risalah.<br /><br />Setelah membaca artikel ini, berdoalah kepada Allah agar diberi hidayah untuk bisa menerima kebenaran dan diberi kekuatan untuk dapat mengamalkannya dan jangan terpedaya dengan banyaknya orang yang melakukannya seperti firman Allah:<br /><br />Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) (Q.S. Al An'aam: 116 ).<br /><br />Abu Raihanah<br /><br />*Dikutip dari: Makalah Sejarah Maulid, hukum dan pendapat ulama terhadapnya karya Nashir Moh. Al Hanin dan sumber lain.</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4268087591193920870.post-77554329785311556382010-03-11T19:05:00.000+07:002010-03-11T19:06:08.307+07:00Hukum Memperingati Maulid Nabi<div dir="ltr"><br /><p class="MsoNormal" dir="ltr" style="margin: 0px 0px 6px; text-indent: 28px; line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin <em>rahimahullah</em> –semoga Allah membalas jerih payahnya terhadap Islam dan kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan- , beliau pernah ditanya tentang hukumnya memperingati maulid Nabi</span><span style=""> </span><span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span><span style="font-family: "Book Antiqua";"> ?</span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="margin: 0px 0px 6px; text-indent: 28px; line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">Maka Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin <em>rahimahullah</em> menjawab:</span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="margin: 0px 0px 6px; text-indent: 28px; line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">1.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span dir="ltr"><span style="font-family: Garamond;">Malam kelahiran Rasulullah</span> </span><span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span> <span style="font-family: Garamond;">tidak diketahui secara qath'i (pasti), bahkan sebagian ulama kontemporer menguatkan pendapat yang mengatakan bahwasannya ia terjadi pada malam ke 9 (sembilan) Rabi'ul Awwal dan bukan malam ke 12 (dua belas). Jika demikian maka peringatan maulid Nabi Muhammad</span><span style="font-family: "Book Antiqua";"> </span><span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span><span style="font-family: "Book Antiqua";"> yang biasa diperingati </span><span style="font-family: Garamond;">pada malam ke 12 (dua belas) Rabi'ul Awwal tidak ada dasarnya, bila dilihat dari sisi sejarahnya.</span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="margin: 0px 0px 6px; text-indent: 28px; line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">2.</span><span dir="ltr" style="font-family: Garamond;"> Di lihat dari sisi syar'i, maka peringatan maulid Nabi</span><span style="font-family: "Book Antiqua";"> </span><span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span><span style="font-family: Garamond;"> juga tidak ada dasarnya. Jika sekiranya acara peringatan maulid Nabi</span><span style="font-family: "Book Antiqua";"> </span><span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span><span style="font-family: Garamond;"> disyari'atkan dalam agama kita, maka pastilah acara maulid ini telah di adakan oleh Nabi</span> <span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span><span style="font-family: Garamond;"> atau sudah barang tentu telah beliau anjurkan kepada ummatnya. Dan jika sekiranya telah beliau laksanakan atau telah beliau anjurkan kepada ummatnya, niscaya ajarannya tetap terpelihara hingga hari ini, karena Allah <em>ta'ala</em> berfirman :</span></p> <p class="MsoBodyText2" dir="ltr" style="margin: 0px 0px 6px; text-indent: 28px; line-height: 150%; text-align: justify;"><em><span style="font-family: Garamond;">“Sesungguhnya Kami-lah yang telah menurunkan Al Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.</span></em><span style="font-family: Garamond;"> Q.S; Al Hijr : 9 .</span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="margin: 0px 0px 6px; text-indent: 28px; line-height: 150%; text-align: justify;"><u><span style="font-family: Garamond;">D</span></u><span style="font-family: Garamond;">ikarenakan acara peringatan maulid Nabi</span><span style="font-family: "Book Antiqua";"> </span><span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span><span style="font-family: Garamond;"> tidak terbukti ajarannya hingga sekarang ini, maka jelaslah bahwa ia bukan termasuk dari ajaran agama. Dan jika ia bukan termasuk dari ajaran agama, berarti kita tidak diperbolehkan untuk beribadah kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan acara peringatan maulid Nabi</span><span style="font-family: ALAWI-3-68;"> </span><span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span><span style="font-family: Garamond;"> tersebut.</span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="margin: 0px 0px 6px; text-indent: 28px; line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">Allah telah menentukan jalan yang harus ditempuh agar dapat sampai kepada-Nya, yaitu jalan yang telah dilalui oleh Rasulullah</span><span style="font-family: ALAWI-3-68;"> </span><span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span>,<span style="font-family: Garamond;"> maka bagaimana mungkin kita sebagai seorang hamba menempuh jalan lain dari jalan Allah, agar kita bisa sampai kepada Allah?. Hal ini jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak Allah, karena kita telah membuat syari'at baru pada agama-Nya yang tidak ada perintah dari-Nya. Dan ini pun termasuk bentuk pendustaan terhadap firman Allah <em>ta'ala</em> : </span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="margin: 0px 0px 6px; text-indent: 28px; line-height: 150%; text-align: justify;"><em><span style="font-family: Garamond;">"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridha'i islam itu jadi agama bagimu</span></em><span style="font-family: Garamond;">". Q.S; Al-Maidah : 3.</span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="margin: 0px 0px 6px; text-indent: 28px; line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">Maka kita perjelas lagi, jika sekiranya acara peringatan maulid Nabi</span><span style="font-family: "Book Antiqua";"> </span><span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span><span style="font-family: Garamond;"> termasuk bagian dari kesempurnaan dien (agama), niscaya ia telah dirayakan sebelum Rasulullah</span> <span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span><span style="font-family: Garamond;"> meninggal dunia. Dan jika ia bukan bagian dari kesempurnaan dien (agama), maka berarti ia bukan dari ajaran agama, karena Allah <em>ta'ala</em> berfirman: <em>"Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu</em>".</span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="margin: 0px 0px 6px; text-indent: 28px; line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">Maka barang siapa yang menganggap bahwa ia termasuk bagian dari kesempurnaan dien (agama), berarti ia telah membuat perkara baru dalam agama (bid'ah) sesudah wafatnya Rasulullah</span> <span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span>, <span style="font-family: Garamond;">dan pada perkataannya terkandung pendustaan terhadap ayat Allah yang mulia ini (Q.S; Al-Maidah : 3) .</span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="margin: 0px 0px 6px; text-indent: 28px; line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">Maka tidak diragukan lagi, bahwa orang-orang yang mengadakan acara peringatan maulid Nabi</span><span style=""> </span><span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span><span style="font-family: "Book Antiqua";">, </span><span style="font-family: Garamond;">pada hakekatnya bertujuan untuk memuliakan (mengagungkan) dan mengungkapkan kecintaan terhadap Rasulullah</span> <span style="font-family: ALAWI-3-68;">SAW</span>, <span style="font-family: Garamond;">serta menumbuhkan ghirah (semangat) dalam beribadah yang di peroleh dari acara peringatan maulid Nabi</span><span style="font-family: "Book Antiqua";"> </span><span style="font-family: Garamond;">tersebut. Dan ini semua termasuk dari ibadah. Cinta kepada Rasulullah</span> <span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span><span style="font-family: Garamond;"> termasuk ibadah, dimana keimanan seseorang tidaklah sempurna hingga ia mencintai Nabi</span><span style="font-family: "Book Antiqua";"> </span><span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span><span style="font-family: Garamond;"> melebihi kecintaannya terhadap dirinya sendiri, anak-anaknya, orang tuanya dan seluruh manusia. Demikian pula bahwa memuliakan (mengagungkan) Rasulullah</span> <span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span><span style="font-family: Garamond;"> termasuk dari ibadah. Dan juga yang termasuk kedalam kategori ibadah adalah menumbuhkan ghirah (semangat) dalam mengamalkan syari'at Nabinya</span><span style="font-family: "Book Antiqua";"> </span><span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span><span style="font-family: "Book Antiqua";">.</span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="margin: 0px 0px 6px; text-indent: 28px; line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">Kesimpulannya adalah bahwa mengadakan peringatan maulid Nabi</span> <span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span><span style="font-family: Garamond;"> dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah <em>ta'ala</em>, dan pengagungan terhadap Rasulullah</span> <span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span><span style="font-family: Garamond;"> termasuk dari ibadah. Jika ia termasuk ibadah maka kita tidak diperbolehkan untuk mengadakan perkara baru pada agama Allah (bid'ah) yang bukan syari'at-Nya. Oleh karena itu peringatan maulid Nabi</span><span style="font-family: ALAWI-3-68;"> </span><span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span><span style="font-family: "Book Antiqua";"> </span><span style="font-family: Garamond;">termasuk bid'ah dalam agama dan termasuk yang diharamkan</span><span style="font-family: "Book Antiqua";">.</span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="margin: 0px 0px 6px; text-indent: 28px; line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">Kemudian kita mendengar informasi bahwasannya pada acara peringatan maulid Nabi</span><span style=""> </span><span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span><span style="font-family: "Book Antiqua";"> </span><span style="font-family: Garamond;">terdapat kemunkaran-kemunkaran yang besar, yang tidak dibenarkan syar'i, indera maupun akal. Dimana mereka mensenandungkan qashidah yang didalamnya mengandung pengkultusan terhadap Nabi</span> <span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span>,<span style="font-family: Garamond;"> hingga terjadi pengagungan yang melebihi pengagungannya kepada Allah <em>ta'ala</em> –kita berlindung kepada Allah dari hal ini-. </span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="margin: 0px 0px 6px; text-indent: 28px; line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">Dan juga kita mendengar informasi tentang kebodohan sebagian orang yang mengikuti acara peringatan maulid Nabi</span><span style="font-family: "Book Antiqua";"> </span><span style="font-family: ALAWI-3-68;">tersebut</span><span style="font-family: "Book Antiqua";"> , </span><span style="font-family: Garamond;">dimana ketika dibacakan kisah maulid (kelahiran) </span><span style="font-family: ALAWI-3-68;">beliau</span><span style="font-family: "Book Antiqua";">, </span><span style="font-family: Garamond;">lalu ketika sampai pada perkataan (dan lahirlah Musthafa</span><span style=""> </span><span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span><span style="font-family: "Book Antiqua";">), </span><span style="font-family: Garamond;">maka mereka semua serentak berdiri. Mereka mengatakan bahwa ruh Rasulullah</span> <span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span><span style="font-family: Garamond;"> telah datang, maka kami berdiri sebagai penghormatan terhadap kedatangan ruhnya. Dan ini jelas suatu kebodohan. </span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="margin: 0px 0px 6px; text-indent: 28px; line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">Dan bukan merupakan adab bila mereka berdiri untuk menghormati kedatangan ruh Nabi</span><span style="font-family: "Book Antiqua";"> </span><span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span><span style="font-family: "Book Antiqua";">, </span><span style="font-family: Garamond;">karena Rasulullah</span> <span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span><span style="font-family: Garamond;"> merasa enggan (tidak senang) apabila ada sahabat yang berdiri untuk menghormatinya. Padahal kecintaan dan pengagungan para sahabat terhadap Rasulullah </span><span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span><span style="font-family: Garamond;"> melebihi yang lainnya, akan tetapi mereka tidak berdiri untuk memuliakan dan mengagungkannya, ketika mereka melihat keengganan Rasulullah</span> <span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span><span style="font-family: Garamond;"> dengan perbuatan tersebut. Jika hal ini tidak mereka lakukan pada saat Rasulullah</span> <span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span><span style="font-family: Garamond;"> masih hidup, lalu bagaimana hal tersebut bisa dilakukan oleh manusia setelah beliau meninggal dunia?.</span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="margin: 0px 0px 6px; text-indent: 28px; line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: Garamond;">Bid'ah ini, maksudnya adalah bid'ah maulid, terjadi setelah berlalunya 3 (tiga) kurun waktu yang terbaik (masa sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in). sesungguhnya Peringatan maulid Nabi</span><span style="font-family: "Book Antiqua";"> </span><span style="font-family: AGA Arabesque;">r</span><span style="font-family: Garamond;"> telah menodai kesucian aqidah dan juga mengundang terjadinya ikhtilath (bercampur-baurnya antara laki-laki dan wanita) serta menimbulkan perkara-perkara munkar yang lainnya.</span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="margin: 0px 0px 6px; text-indent: 28px; line-height: 150%; text-align: justify;"><strong><span style="font-family: "Monotype Corsiva";">Rujukan: Majmu' Fatawa dan Rasail Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin <em>rahimahullah</em> jilid 2 hal 298-300.</span></strong></p></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4268087591193920870.post-78902553676018740782010-03-10T18:09:00.000+07:002010-03-10T18:10:46.355+07:00Muhammad SAW, Di Mata Para Tokoh Dunia<b>MAHATMA GANDHI (Komentar mengenai karakter Muhammad di YOUNG INDIA)</b><br />“Pernah saya bertanya-tanya siapakah tokoh yang paling mempengaruhi manusia… Saya lebih dari yakin bahwa bukan pedanglah yang memberikan kebesaran pada Islam pada masanya. Tapi ia datang dari kesederhanaan, kebersahajaan, kehati-hatian Muhammad; serta pengabdian luar biasa kepada teman dan pengikutnya, tekadnya, keberaniannya, serta keyakinannya pada Tuhan dan tugasnya. Semua ini (dan bukan pedang ) menyingkirkan segala halangan. Ketika saya menutup halaman terakhir volume 2 (biografi Muhammad), saya sedih karena tiada lagi cerita yang tersisa dari hidupnya yang agung.<br /><br /><b>Sir George Bernard Shaw (The Genuine Islam,’ Vol. 1, No. 8, 1936.)</b><br />“Jika ada agama yang berpeluang menguasai Inggris bahkan Eropa - beberapa ratus tahun dari sekarang, Islam-lah agama tersebut.”<br /><br />Saya senantiasa menghormati agama Muhammad karena potensi yang dimilikinya. Ini adalah satu-satunya agama yang bagi saya memiliki kemampuan menyatukan dan merubah peradaban. Saya sudah mempelajari Muhammad sesosok pribadi agung yang jauh dari kesan seorang anti-kristus, dia harus dipanggil ’sang penyelamat kemanusiaan”<br /><br />“Saya yakin, apabila orang semacam Muhammad memegang kekuasaan tunggal di dunia modern ini, dia akan berhasil mengatasi segala permasalahan sedemikian hingga membawa kedamaian dan kebahagiaan yang dibutuhkan dunia: Ramalanku, keyakinan yang dibawanya akan diterima Eropa di masa datang dan memang ia telah mulai diterima Eropa saat ini.<br /><br />“Dia adalah manusia teragung yang pernah menginjakkan kakinya di bumi ini. Dia membawa sebuah agama, mendirikan sebuah bangsa, meletakkan dasar-dasar moral, memulai sekian banyak gerakan pembaruan sosial dan politik, mendirikan sebuah masyarakat yang kuat dan dinamis untuk melaksanakan dan mewakili seluruh ajarannya, dan ia juga telah merevolusi pikiran serta perilaku manusia untuk seluruh masa yang akan datang.<br /><br />Dia adalah Muhammad (SAW). Dia lahir di Arab tahun 570 masehi, memulai misi mengajarkan agama kebenaran, Islam (penyerahan diri pada Tuhan) pada usia 40 dan meninggalkan dunia ini pada usia 63. Sepanjang masa kenabiannya yang pendek (23 tahun) dia telah merubah Jazirah Arab dari paganisme dan pemuja makhluk menjadi para pemuja Tuhan yang Esa, dari peperangan dan perpecahan antar suku menjadi bangsa yang bersatu, dari kaum pemabuk dan pengacau menjadi kaum pemikir dan penyabar, dari kaum tak berhukum dan anarkis menjadi kaum yang teratur, dari kebobrokan ke keagungan moral. Sejarah manusia tidak pernah mengenal tranformasi sebuah masyarakat atau tempat sedahsyat ini bayangkan ini terjadi dalam kurun waktu hanya sedikit di atas DUA DEKADE.”<br /><br /><br /><b>MICHAEL H. HART (THE 100: A RANKIN G OF THE MOST INFLUENTIAL PERSONS IN HISTORY, New York, 1978)</b><br />Pilihan saya untuk menempatkan Muhammad pada urutan teratas mungkin mengejutkan semua pihak, tapi dialah satu-satunya orang yang sukses baik dalam tataran sekular maupun agama. (hal. 33). Lamar tine, seorang sejarawan terkemuka menyatakan bahwa: “Jika keagungan sebuah tujuan, kecilnya fasilitas yang diberikan untuk mencapai tujuan tersebut, serta menakjubkannya hasil yang dicapai menjadi tolok ukur kejeniusan seorang manusia; siapakah yang berani membandingkan tokoh hebat manapun dalam sejarah modern dengan Muhammad? Tokoh-tokoh itu membangun pasukan, hukum dan kerajaan saja. Mereka hanyalah menciptakan kekuatan-kekuatan material yang hancur bahkan di depan mata mereka sendiri.<br /><br />Muhammad bergerak tidak hanya dengan tentara, hukum, kerajaan, rakyat dan dinasti, tapi jutaan manusia di dua per tiga wilayah dunia saat itu; lebih dari itu, ia telah m erubah altar-altar pemujaan, sesembahan, agama, pikiran, kepercayaan serta jiwa… Kesabarannya dalam kemenangan dan ambisinya yang dipersembahkan untuk satu tujuan tanpa sama sekali berhasrat membangun kekuasaan, sembahyang-sembahyangnya, dialognya dengan Tuhan, kematiannnya dan kemenangan-kemenangan (umatnya) setelah kematiannya; semuanya membawa keyakinan umatnya hingga ia memiliki kekuatan untuk mengembalikan sebuah dogma. Dogma yang mengajarkan ketunggalan dan kegaiban (immateriality) Tuhan yang mengajarkan siapa sesungguhnya Tuhan. Dia singkirkan tuhan palsu dengan kekuatan dan mengenalkan tuhan yang sesungguhnya dengan kebijakan. Seorang filsuf yang juga seorang orator, apostle (hawariyyun, 12 orang pengikut Yesus-pen.), prajurit, ahli hukum, penakluk ide, pengembali dogma-dogma rasional dari sebuah ajaran tanpa pengidolaan, pendiri 20 kerajaan di bumi dan satu kerajaan spiritual, ialah Muhammad. Dari semua standar bagaimana kehebatan seorang manusia diukur, mungkin kita patut bertanya: adakah orang yang lebih agung dari dia?”<br /><br /><b>Lamar tine, HISTOIRE DE LA TURQUIE, Paris, 1854, Vol. II, pp 276-277</b><br />“Dunia telah menyaksikan banyak pribadi-pribadi agung. Namun, dari orang orang tersebut adalah orang yang sukses pada satu atau dua bidang saja misalnya agama atau militer. Hidup dan ajaran orang-orang ini seringkali terselimuti kabut waktu dan zaman. Begitu banyak spekulasi tentang waktu dan tempat lahir mereka, cara dan gaya hidup mereka, sifat dan detail ajaran mereka, serta tingkat dan ukuran kesuksesan mereka sehingga sulit bagi manusia untuk merekonstruksi ajaran dan hidup tokoh-tokoh ini.<br /><br />Tidak demikian dengan orang ini. Muhammad (SAW) telah begitu tinggi menggapai dalam berbagai bidang pikir dan perilaku manusia dalam sebuah episode cemerlang sejarah manusia. Setiap detil dari kehidupan pribadi dan ucapan-ucapannya telah secara akurat didokumentasikan dan dijaga dengan teliti sampai saat ini. Keaslian ajarannya begitu terjaga, tidak saja oleh karena penelusuran yang dilakukan para pengikut setianya tapi juga oleh para penentangnya. Muhammad adalah seorang agamawan, reformis sosial, teladan moral, administrator massa, sahabat setia, teman yang menyenangkan, suami yang penuh kasih dan seorang ayah yang penyayang - semua menjadi satu.<br /><br />Tiada lagi manusia dalam sejarah melebihi atau bahkan menyamainya dalam setiap aspek kehidupan tersebut -hanya dengan kepribadian seperti dia-lah keagungan seperti ini dapat diraih.”<br /><br />K. S. RAMAKRISHNA RAO, Professor Philosophy dalam bookletnya, “Muhammad, The Prophet of Islam”<br /><br /><br />Kepribadian Muhammad, hhmm sangat sulit untuk menggambarkannya dengan tepat. Saya pun hanya bisa menangkap sekilas saja: betapa ia adalah lukisan yang indah. Anda bisa lihat Muhammad s ang Nabi, Muhammad sang ****ang, Muhammad sang pengusaha, Muhammad sang negarawan, Muhammad sang orator ulung, Muhammad sang pembaharu, Muhammad sang pelindung anak yatim-piatu,<br />Muhammad sang pelindung hamba sahaya, Muhammad sang pembela hak wanita, Muhammad sang hakim, Muhamad sang pemuka agama. Dalam setiap perannya tadi, ia adalah seorang pahlawan.<br />Saat ini, 14 abad kemudian, kehidupan dan ajaran Muhammad tetap selamat, tiada yang hilang atau berubah sedikit pun. Ajaran yang menawarkan secercah harapan abadi tentang obat atas segala penyakit kemanusiaan yang ada dan telah ada sejak masa hidupnya. Ini bukanlah klaim seorang pengikutnya tapi juga sebuah simpulan tak terelakkan dari sebuah analisis sejarah yang kritis dan tidak bias.<br /><br /><b>PROF. (SNOUCK) HURGRONJE</b><br />Liga bangsa-bangsa yang didirikan Nabi umat Islam telah meletakkan dasar-dasar persatuan internasional dan persaudaraan manusia di atas pondasi yang universal yang menerangi bagi bangsa lain. Buktinya, sampai saat ini tiada satu bangsa pun di dunia yang mampu menyamai Islam dalam capaiannya mewujudkan ide persatuan bangsa-bangsa.<br /><br />Dunia telah banyak mengenal konsep ketuhanan, telah banyak individu yang hidup dan misinya lenyap menjadi legenda. Sejarah menunjukkan tiada satu pun legenda ini yang menyamai bahkan sebagian dari apa yang Muhammad capai. Seluruh jiwa raganya ia curahkan untuk satu tujuan: menyatukan manusia dalam pengabdian kapada Tuhan dalam aturan-aturan ketinggian moral. Muhammad atau pengikutnya tidak pernah dalam sejarah menyatakan bahwa ia adalah putra Tuhan atau reinkarnasi Tuhan atau seorang jelmaan Tuhan dia selalu sejak dahulu sampai saat ini menganggap dirinya dan dianggap oleh pengikutnya hanyalah sebagai seorang pesuruh yang dipilih Tuhan.<br /><br /><b>THOMAS CARLYLE in his HEROES AND HEROWORSHIP</b><br />Betapa menakjubkan seorang manusia sendirian dapat mengubah suku-suku yang saling berperang dan kaum nomaden (Baduy) menjadi sebuah bangsa yang paling maju dan paling berperadaban hanya dalam waktu kurang dari dua dekade.<br /><br />“Kebohongan yang dipropagandakan kaum Barat yang diselimutkan kepada orang ini (Muhammad) hanyalah mempermalukan diri kita sendiri. “Sesosok jiwa besar yang tenang, seorang yang mau tidak mau harus dijunjung tinggi. Dia diciptakan untuk menerangi dunia, begitulah perintah Sang Pencipta Dunia.<br /><br /><b>EDWARD GIBBON and SIMON OCKLEY speaking on the profession of ISLAM</b><br />Saya percaya bahwa Tuhan adalah tunggal dan Muhammad adalah pesuruh-Nya adalah pengakuan kebenaran Islam yang simpel dan seragam. Tuhan tidak pernah dihinakan dengan pujaan-pujaan kemakhlukan; penghormatan terhadap Sang Nabi tidak pernah berubah menjadi pengkultusan berlebihan; dan prinsip-prinsip hidupnya telah memberinya penghormatan dari pengikutnya dalam batas-batas akal dan agama (HISTORY OF THE SARACEN EMPIRES, London, 1870, p. 54).<br /><br />Muhammad tidak lebih dari seorang manusia biasa. Tapi ia adalah manusia dengan tugas mulia untuk menyatukan manusia dalam pengabdian terhadap satu dan hanya satu Tuhan serta untuk mengajarkan hidup yang jujur dan lurus sesuai perintah Tuhan. Dia selalu menggambarkan dirinya sebagai ‘hamba dan pesuruh Tuhan dan demikianlah juga setiap tindakannya.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4268087591193920870.post-38671658982897556672010-03-09T10:24:00.000+07:002010-03-09T10:25:20.377+07:00Kekonyolan Argumentasi MM Billah, Agama Itu Tidak Nyata<div style="text-align: justify;">Dalam persidangan hari ini, Rabu (24/2/2010), MM Billah, salah satu saksi ahli yang dihadirkan oleh pihak pemohon (tim Advokasi Kebebasan Beragama), menyatakan bahwa UU 1/PNPS/1965 tentang pasal penodaan agama, menurutnya tidak jelas, dan bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. Menurutnya, ini melanggar deklarasi HAM internasional, kenapa? Karena menurutnya, pertama, agama itu tidak nyata, dan hanya sebuah pemikiran (keyakinan), maka bebas kita diskusikan. Kedua, kamus menodai adalah mengotori obyek fisik, sedangkan agama bukanlah obyek fisik.<br /><br />Pandangan MM Billah ini jelas konyol. Karena, tidak bisa membedakan antara fakta dan persepsi. Agama, khususnya Islam, adalah fakta. Di dalamnya berisi ajaran, baik yang berkaitan dengan akidah maupun hukum syariah. Ini adalah fakta. Akidah dan hukum syariah itu diambil dari al-Qur’an, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas adalah juga fakta. Bukan persepsi kita. Karena itu, Islam kemudian berbeda dengan agama lain, juga fakta, bukan persepsi kita. Kalau kemudian secara faktual Islam jelas berbeda dengan agama lain, kemudian dianggap sama, itulah persepsi.<br /><br />Bahwa agama, khususnya Islam, juga berisi pemikiran dan hukum juga fakta, bukan persepsi kita. Hanya saja, tentu bukan pemikiran dan hukum manusia. Karena itu, al-Qur’an sebagai sumber pemikiran dan hukum, diturunkan oleh Allah kepada manusia, disertai dengan penjelasan yang juga diberikan oleh Allah, melalui Rasul-Nya, Muhammad saw dengan hadits-nya. Tujuannya, agar tidak ada klaim kebenaran tanpa dasar. Benar, bahwa pemikiran dan hukum ini bisa didiskusikan, tetapi hasilnya tidak boleh menyimpang dari pokok dan pakemnya. Karena itu, pemikiran dan hukum, dalam pandangan Islam, bisa dihakimi: benar atau salah, sesat atau tidak.<br /><br />Jika pandangan seperti ini diterima, maka bukan saja agama yang hancur, tetapi juga kehidupan, masyarakat dan negara. Karena, kehidupan manusia juga dibangun berdasarkan pemikiran. Demikian juga masyarakat dan negara. Jika dianggap pemikiran ini bukan fakta, maka dengan alasan HAM, orang bebas mengubah dan merusaknya. Konsekuensinya, kehidupan, masyarakat dan negara apapun akan musnah. Kalau pemikiran di dalam agama itu bukan fakta, tentu tidak bisa mengikat antar pemeluknya. Mereka juga bisa dibedakan, antara Muslim dengan non-Muslim, karena keterikatan mereka pada pemikiran tersebut. Ibarat tali pengikat, tidak mungkin, karena dianggap tidak ada faktanya, pemikiran tersebut bisa digunakan untuk mengikat satu sama lain dalam ikatan satu agama.<br /><br />Dengan demikian, argumentasi yang kedua, bahwa dalam kamus penodaan itu hanya bisa terjadi pada obyek fisik, atau tepatnya obyek yang mempunyai fakta, dengan sendirinya runtuh. Sebagai bukti sederhana, ketika Ahmadiyah mengubah ayat al-Qur’an seenaknya, dan disusun dengan seenaknya, dalam kitab Tadzkirah mereka, apakah tidak bisa dianggap menodai agama? Jika Lutfi Syaukani, gembong JIL dengan tuduhannya, bahwa Islam dan Nabi Muhammad adalah bentuk penyimpangan dari agama terdahulu, apakah juga tidak bisa dianggap menistakan agama? Jelas bisa. Karena semua yang dinodai dan dinistakan itu ada faktanya. Bukan sekedar ilusi kita.<br /><br />Mengenai soal tafsir, harus dibedakan dua hal: Pertama, fakta (pemikiran) yang bisa dipahami dan diyakini, tanpa harus ditafsirkan, sebagaimana masalah akidah dan keyakinan. Meyakini adanya Allah, Malaikat, al-Qur’an kalam Allah, Hari Kiamat, Qadha’ dan Qadar adalah perkara yang sudah jelas, bisa langsung diyakini manusia ketika mencari jawaban tentang fakta-fakta tersebut, dan tidak membutuhkan lagi penafsiran. Karena itu, siapapun bisa menemukan jawabannya, apapun latar belakang pendidikannya. Tetapi, ini berbeda dengan fakta kedua. Kedua, hukum syariah. Hukum ini tentu hanya bisa dipahami oleh ahli hukum, sebagaimana dalam pembuatan hukum positif, tentu pakar yang kredibellah yang bisa menafsirkan. Kalau logika siapapun bisa menafsirkan, maka hukum bisa diproduk oleh tukang bakso, penjual tahu, tempe bahkan pemulung, dan penafsirnya pun bisa tukang pijat, dan sebagainya. Tentu logika ini tidak bisa diterima. Karena itu, dalam konteks yang kedua, yaitu hukum syariah, wajar jika produk dan tafsiran hukum yang benar dan kredibel adalah dari ahli hukum, atau ulama’ yang kompeten, yaitu fuqaha’ maupun mujtahid. (Hafidz Abdurrahman; Lajnah Tsaqofiyah DPP HTI).<br />(sumber : hizbut Tahrir)<br /></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4268087591193920870.post-91851995189511191272010-03-08T17:08:00.000+07:002010-03-08T17:11:22.213+07:00Nikah Siri menurut Islam (part 2)<pre>Tanya, bagai mana hukumnya kalau nikah tampa diwakili kedua belah pihak keluarga<br />apakah sudah sah menurut agama islam. Dan apa aja yang diperbolehkan dalam<br />nikah siri? syaratnya apa aja? Trims<br /><br />jawab,<br />Syarat sah nya suatu pernikahan adalah dgn adanya wali dan dua orang saksi,<br />berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam."Artinya : Tidak<br />sah nikah seseorang kecuali dengan dihadiri wali dan dua orang saksi yang<br />adil" [Hadits Riwayat Daruqutny]<br /><br />Pertanyaan.<br />Lajnah Da'imah ditanya : "Menikah di lembaga pernikahan negara Inggris yang<br />disaksikan satu orang muslim dan satu orang dari ahli kitab, apakah<br />pernikahan tersebut sah menurut syari'at ?".<br /><br />Jawaban.<br />Sebagian besar para ulama berpendapat bahwa pernikahan tersebut tidak sah<br />kecuali dengan dihadiri wali dan dua orang saksi yang adil. Berdasarkan<br />sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br /><br />"Artinya : Tidak sah nikah seseorang kecuali dengan dihadiri wali dan dua<br />orang saksi yang adil" [Hadits Riwayat Daruqutny]<br /><br />Dan berdasarkan hadits yang lainnya.<br /><br />"Artinya : Pelacur adalah wanita yang menikah sendiri tanpa ada bukti (wali<br />dan saksi)" [Hadits Riwayat At-Tirmidzi]<br /><br />Dan Umar pernah mendapat laporan bahwa ada orang yang menikah hanya<br />disaksikan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka beliau berkata<br />: "Demikian itu adalah nikah sirri (rahasia), sendainya aku menemuinya, maka<br />aku akan merajamnya" [Hadits Riwayat Malik dalam kitab Al-Muwaththa']<br /><br />Dan berdasarkan perkataan Ibnu Abbas : "Tidaklah suatu pernikahan dianggap<br />sah bila tidak dilandasi bukti (wali dan saksi).<br /><br />Setelah memaparkan hadits-hadits tentang wali dan saksi dalam pernikahan<br />Imam At-Tirmidzi berkata : "Pendapat yang disepakati para ulama dari<br />kalangan sahabat dan tabi'in adalah pendapat yang mengatakan bahwa wali dan<br />saksi adalah syarat sahnya pernikahan, dan tidak sah pernikahan yang tidak<br />dihadiri wali dan dua orang saksi yang adil". Dan pendapat ini sesuai dengan<br />tujuan dari syari'at Islam, yaitu melindungi kehormatan, menjaga kemurnian<br />nasab, menghalangi perzinaan dan kejahatan serta mengantisipasi terjadinya<br />keretakan dalam kehidupan rumah tangga. Adapun pernikahan seorang muslim<br />dengan wanita ahli kitab adalah tidak sah kecuali dengan hadirnya wali dan<br />dua orang saksi muslim, ini menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi'i<br />sesuai dengan maksud hadits dan atsar juga tujuan syari'at.<br /></pre>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4268087591193920870.post-383718803974410892010-03-08T17:04:00.000+07:002010-03-08T17:07:40.289+07:00Nikah Siri menurut Islam (part 1)<span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Keinginan pemerintah untuk memberikan fatwa hukum yang tegas terhadap pernikahan siri, kini telah dituangkan dalam rancangan undang-undang tentang perkawinan.<span> </span><span> </span>Sebagaimana penjelasan Nasarudin Umar, Direktur Bimas Islam Depag, RUU ini akan memperketat pernikahan siri, kawin kontrak, dan poligami. </span> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Berkenaan dengan nikah siri, dalam RUU yang baru sampai di meja Setneg, pernikahan siri dianggap perbuatan ilegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah.<span> </span>Tidak hanya itu saja, sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara. <span> </span>[Surya Online, Sabtu, 28 Februari, 1009]</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Sebagian orang juga berpendapat bahwa orang yang melakukan pernikahan siri, maka suami isteri tersebut tidak memiliki hubungan pewarisan.<span> </span>Artinya, jika suami meninggal dunia, maka isteri atau anak-anak keturunannya tidak memiliki hak untuk mewarisi harta suaminya.<span> </span>Ketentuan ini juga berlaku jika isteri yang meninggal dunia.<span> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap nikah siri?<span> </span>Bolehkah orang yang melakukan nikah siri dipidanakan? Benarkah orang yang melakukan pernikahan siri tidak memiliki hubungan pewarisan? <span> </span></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"> </span></p> <p class="MsoNormal"><strong><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"> </span></strong></p> <p class="MsoNormal"><strong><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Definisi dan Alasan Melakukan Pernikahan Siri</span></strong></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; <span> </span><strong>Pertama</strong>; pernikahan tanpa wali.<span> </span>Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; <span> </span>atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; <strong>kedua</strong>, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. <span> </span>Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan <span> </span>sipil negara.<span> </span>Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. <strong>Ketiga</strong>, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.<span> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Adapun hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"> </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Hukum Pernikahan Tanpa Wali</span></strong></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Adapun mengenai <strong>fakta pertama</strong>, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. <span> </span>Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda; </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"> </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; direction: rtl; unicode-bidi: embed;" dir="rtl"><span style="font-size: 16pt; font-family: "Traditional Arabic";">لا نكاح إلا بولي</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.”</span></em><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"> [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, <span> </span><em>Nailul Authar </em>VI: 230 hadits ke 2648].<em></em></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Berdasarkan <em>dalalah al-iqtidla’</em>, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak <span> </span>sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"> </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; direction: rtl; unicode-bidi: embed;" dir="rtl"><span style="font-size: 16pt; font-family: "Traditional Arabic";">أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل</span><span style="font-size: 16pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"> </span><span style="font-size: 16pt; font-family: "Traditional Arabic";">, فنكاحها باطل </span><span style="font-size: 16pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><span> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. </span></em><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">[HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].<em></em></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"> </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; direction: rtl; unicode-bidi: embed;" dir="rtl"><span style="font-size: 16pt; font-family: "Traditional Arabic";">لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. </span></em><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">(HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. <span> </span>Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia.<span> </span>Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali.<span> </span>Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim).<span> </span>Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.<span> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"> </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil</span></strong></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Adapun fakta <strong>pernikahan siri kedua</strong>, <span> </span>yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”.<span> </span>Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.<span> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat.<span> </span>Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.<span> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut; <strong>pertama</strong>, meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya; <strong>kedua</strong>, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya; <strong>ketiga</strong>, melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara. </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia.<span> </span>Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt.<span> </span>Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul.<span> </span>Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.<span> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut. </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Pertama</span></strong><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">, <span> </span>pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain.<span> </span>Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara.<span> </span>Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (<em>bayyinah</em>) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. <span> </span>Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy.<span> </span>Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy.<span> </span>Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis.<span> </span>Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. <span> </span><span> </span>Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan.<span> </span>Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy.<span> </span>Negara tidak boleh menolak<span> </span>kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut. </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Kedua</span></strong><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara.<span> </span>Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil.<span> </span>Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang.<span> </span>Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah.<span> </span>Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.<span> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah swt;</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; direction: rtl; unicode-bidi: embed;" dir="rtl"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"> </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; direction: rtl; unicode-bidi: embed;" dir="rtl"><span style="font-size: 16pt; font-family: "Traditional Arabic";">يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ</span><span style="font-size: 16pt; font-family: "Traditional Arabic";"> </span><span style="font-size: 16pt; font-family: "Traditional Arabic";">وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ</span><span style="font-size: 16pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"> </span><span style="font-size: 16pt; font-family: "Traditional Arabic";"><span> </span>تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">”<em>Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu</em>”.[TQS AL Baqarah (2):<span> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Ketiga</span></strong><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat <span> </span>kepada orang yang melakukan tindakan <em>mukhalafat</em>.<span> </span>Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya.<span> </span>Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya.<span> </span>Aturan yang ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat.<span> </span>Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi mukhalafat.<span> </span>Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya. </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan takaran, timbangan, serta ukuran-ukuran khusus untuk pengaturan urusan jual beli dan perdagangan. Ia berhak untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melanggar perintahnya dalam hal tersebut. Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk kafe-kafe, hotel-hotel, tempat penyewaan permainan, dan tempat-tempat umum lainnya; dan ia berhak memberi sanksi bagi orang yang melanggar aturan-aturan tersebut. <span> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Demikian juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan.<span> </span>Khalifah boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya.<span> </span>Aturan semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat.<span> </span>Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. <span> </span>Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara -- padahal negara telah menetapkan aturan tersebut—telah terjatuh pada tindakan <em>mukhalafat</em>.<span> </span>Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang diberinya kewenangan. </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Yang menjadi catatan di sini adalah, pihak yang secara syar’iy absah menjatuhkan sanksi<em> mukhalafat</em> hanyalah seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum Muslim, dan orang yang ditunjuk oleh khalifah.<span> </span>Selain khalifah, atau orang-orang yang ditunjuknya, tidak memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi mukhalafat. <span> </span><span> </span>Atas dasar itu, kepala negara yang tidak memiliki aqad bai’at dengan rakyat, maka kepala negara semacam ini tidak absah menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada rakyatnya.<span> </span>Sebab, seseorang baru berhak ditaati dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat telah membai’atnya dengan bai’at <em>in’iqad </em>dan taat.<span> </span>Adapun orang yang menjadi kepala negara tanpa melalui proses bai’at dari rakyat (in’iqad dan taat), maka ia bukanlah penguasa yang sah, dan rakyat tidak memiliki kewajiban untuk mentaati dan mendengarkan perintahnya.<span> </span>Lebih-lebih lagi jika<span> </span>para penguasa itu adalah para penguasa yang menerapkan sistem kufur alas demokrasi dan sekulerisme, maka rakyat justru tidak diperkenankan memberikan ketaatan kepada mereka.<span> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Keempat</span></strong><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. <span> </span>Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya.<span> </span>Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.<span> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Kelima</span></strong><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan <em>walimatul ‘ursy</em>.<span> </span>Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah).<span> </span>Nabi saw bersabda;</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"> </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; direction: rtl; unicode-bidi: embed;" dir="rtl"><span style="font-size: 16pt; font-family: "Traditional Arabic";">حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">“<em>Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.</em>[HR. Imam Bukhari dan Muslim]</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.<span> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri).<span> </span>Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya.<span> </span>Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya.<span> </span>Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><span> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Bahaya Terselubung Surat Nikah</span></strong></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Walaupun pencatatan pernikahan bisa memberikan implikasi-implikasi positif bagi masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah acapkali juga membuka ruang bagi munculnya praktek-praktek menyimpang di tengah masyarakat.<span> </span>Lebih-lebih lagi, pengetahuan masyarakat tentang aturan-aturan Islam dalam hal pernikahan, talak, dan hukum-hukum ijtimaa’iy sangatlah rendah, bahwa mayoritas tidak mengetahui sama sekali.<span> </span>Diantara praktek-praktek menyimpang dengan mengatasnamakan surat nikah adalah;</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Pertama</span></strong><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">, ada seorang suami mentalak isterinya sebanyak tiga kali, namun tidak melaporkan kasus perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga keduanya masih memegang surat nikah.<span> </span>Ketika terjadi sengketa waris atau anak, atau sengketa-sengketa lain, salah satu pihak mengklaim masih memiliki ikatan pernikahan yang sah, dengan menyodorkan bukti surat nikah.<span> </span>Padahal, keduanya secara syar’iy benar-benar sudah tidak lagi menjadi suami isteri.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Kedua</span></strong><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">, surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau hubungan tidak syar’iy antara suami isteri yang sudah bercerai.<span> </span>Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih memegang surat nikah.<span> </span>Ketika suami isteri itu merajut kembali hubungan suami isteri –padahal mereka sudah bercerai–, maka mereka akan terus merasa aman dengan perbuatan keji mereka dengan berlindung kepada surat nikah.<span> </span>Sewaktu-waktu jika ia tertangkap tangan sedang melakukan perbuatan keji, keduanya bisa berdalih bahwa mereka masih memiliki hubungan suami isteri dengan menunjukkan surat nikah.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Inilah beberapa bahaya terselubung di balik surat nikah.<span> </span><span> </span>Oleh karena itu, penguasa tidak cukup menghimbau masyarakat untuk mencatatkan pernikahannya pada lembaga pencatatan sipil negara, akan tetapi juga berkewajiban mendidik masyarakat dengan hukum syariat –agar masyarakat semakin memahami hukum syariat–, dan mengawasi dengan ketat penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat nikah tidak justru disalahgunakan. </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Selain itu, penguasa juga harus memecahkan persoalan perceraian yang tidak dilaporkan di pengadilan agama, agar status hubungan suami isteri yang telah bercerai menjadi jelas.<span> </span><em>Wallahu a’lam bi al-shawab</em>. (<em>Syamsuddin Ramadhan An Nawiy</em>)<em>.</em> </span></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4268087591193920870.post-59771585896515452272009-12-11T16:39:00.000+07:002009-12-11T20:12:17.396+07:00Hukum Sholat Jum’at Pada Hari Raya (Idul Fitri/Adha)<p>Seperti kita ketahui, terkadang hari raya Idul Fitri atau Idul Adha jatuh pada hari Jumat. Misalnya saja yang terjadi pada tahun ini (2009), Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah 1430 H akan jatuh pada hari Jumat 27 Nopember 2009. Di sinilah mungkin di antara kita ada yang bertanya, apakah sholat Jumat masih diwajibkan pada hari raya? Apakah kalau seseorang sudah sholat Ied berarti boleh tidak sholat Jumat? Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu dengan melakukan penelusuran pendapat ulama, dalil-dalilnya, dan pentarjihan (mengambil yang terkuat) dari dalil-dalil tersebut.</p> <p>Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum shalat Jumat yang jatuh bertepatan dengan hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Dalam kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah karya Imam Ad Dimasyqi, disebutkan bahwa:</p> <p>“Apabila hari raya bertepatan dengan hari Jumat, maka menurut pendapat Imam Asy Syafi’i yang shahih, bahwa shalat Jumat tidak gugur dari penduduk kampung yang mengerjakan shalat Jumat. Adapun bagi orang yang datang dari kampung lain, gugur Jumatnya. Demikian menurut pendapat Imam Asy Syafi’i yang shahih. Maka jika mereka telah shalat hari raya, boleh bagi mereka terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, bagi penduduk kampung wajib shalat Jumat. Menurut Imam Ahmad, tidak wajib shalat Jumat baik bagi orang yang datang maupun orang yang ditempati shalat Jumat. Kewajiban shalat Jumat gugur sebab mengerjakan shalat hari raya. Tetapi mereka wajib shalat zhuhur. Menurut ‘Atha`, zhuhur dan Jumat gugur bersama-sama pada hari itu. Maka tidak ada shalat sesudah shalat hari raya selain shalat Ashar.”</p> <p>Ad Dimasyqi tidak menampilkan pendapat Imam Malik. Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menyatakan pendapat Imam Malik sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Disebutkannya bahwa,“Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat,”Jika berkumpul hari raya dan Jumat, maka mukallaf dituntut untuk melaksanakannya semuanya….”</p> <p>Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa dalam masalah ini terdapat 4 (empat) pendapat :</p> <p>Pertama, shalat Jumat tidak gugur dari penduduk kota (ahlul amshaar/ahlul madinah) yang di tempat mereka diselenggarakan shalat Jumat. Sedang bagi orang yang datang dari kampung atau padang gurun (ahlul badaawi/ahlul ‘aaliyah), yang di tempatnya itu tidak dilaksanakan shalat Jumat, gugur kewajiban shalat Jumatnya. Jadi jika mereka –yakni orang yang datang dari kampung — telah shalat hari raya, boleh mereka terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat. Inilah pendapat Imam Syafi’i. Ini pula pendapat Utsman dan Umar bin Abdul Aziz.</p> <p>Kedua, shalat Jumat wajib tetap ditunaikan, baik oleh penduduk kota yang ditempati shalat Jumat maupun oleh penduduk yang datang dari kampung. Ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Jadi, shalat Jumat tetap wajib dan tidak gugur dengan ditunaikannya shalat hari raya.</p> <p>Ketiga, tidak wajib shalat Jumat baik bagi orang yang datang maupun bagi orang yang ditempati shalat Jumat. Tetapi mereka wajib shalat zhuhur. Demikian pendapat Imam Ahmad.</p> <p>Keempat, zhuhur dan Jumat gugur sama-sama gugur kewajibannya pada hari itu. Jadi setelah shalat hari raya, tak ada lagi shalat sesudahnya selain shalat Ashar. Demikian pendapat ‘Atha` bin Abi Rabbah. Dikatakan, ini juga pendapat Ibnu Zubayr dan ‘Ali.</p> <p><strong>2. Pendapat Yang Rajih</strong><br />Kami mendapatkan kesimpulan, bahwa pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, rahimahullah. Rincian hukumnya adalah sebagai berikut:<br />Hukum Pertama, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya -yang jatuh bertepatan dengan hari Jumat- gugurlah kewajiban atasnya untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat dan boleh juga tidak.</p> <p>Hukum Kedua, bagi mereka yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut, lebih utama dan disunnahkan tetap melaksanakan shalat Jumat.</p> <p>Hukum Ketiga, jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut memilih untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib melaksanakan shalat zhuhur, tidak boleh meninggalkan zhuhur.</p> <p>Hukum Keempat, mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk menunaikan shalat Jumat, tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat.<br />Keterangan mengenai masing-masing hukum tersebut akan diuraikan pada poin berikutnya, Insya Allah.</p> <p><strong><em>2.1. Keterangan Hukum Pertama</em></strong><br />Mengenai gugurnya kewajiban shalat Jumat bagi mereka yang sudah melaksanakan shalat hari raya, dalilnya adalah hadits-hadits Nabi SAW yang shahih, antara lain yang diriwayatkan dari Zayd bin Arqam RA bahwa dia berkata : “Nabi SAW melaksanakan shalat Ied (pada suatu hari Jumat) kemudian beliau memberikan rukhshah (kemudahan/keringanan) dalam shalat Jumat. Kemudian Nabi berkata,’Barangsiapa yang berkehendak (shalat Jumat), hendaklah dia shalat.” [Shallan nabiyyu shallallaahu 'alayhi wa sallama al 'iida tsumma rakhkhasha fil jumu'ati tsumma qaala man syaa-a an yushalliya falyushalli] (HR. Al Khamsah, kecuali At Tirmidzi. Hadits ini menurut Ibnu Khuzaimah, shahih).</p> <p>Diriwayatkan dari Abu Hurayrah RA bahwa Nabi SAW bersabda : “Sungguh telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Maka barangsiapa berkehendak (shalat hari raya), cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi. Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jumat.” [Qad ijtama'a fii yawmikum haadza 'iidaani, fa man syaa-a ajza-a-hu minal jumu'ati, wa innaa mujammi'uun] (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al Hakim juga meriwayatkan hadits ini dari sanad Abu Shalih, dan dalam isnadnya terdapat Baqiyah bin Walid, yang diperselisihkan ulama. Imam Ad Daruquthni menilai, hadits ini shahih. Ulama hadits lain menilainya hadits mursal).<br />Hadits-hadits ini merupakan dalil bahwa shalat Jumat setelah shalat hari raya, menjadi rukhshah. Yakni, maksudnya shalat Jumat boleh dikerjakan dan boleh tidak. Pada hadits Zayd bin Arqam di atas (hadits pertama) Nabi SAW bersabda “tsumma rakhkhasha fi al jumu’ati” (kemudian Nabi memberikan rukhshash dalam [shalat] Jumat). Ini menunjukkan bahwa setelah shalat hari raya ditunaikan, shalat hari raya menjadi rukhshah (kemudahan/keringanan).</p> <p>Menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, rukhshah adalah hukum yang disyariatkan untuk meringankan hukum azimah (hukum asal) karena adanya suatu udzur (halangan), disertai tetapnya hukum azimah namun hamba tidak diharuskan mengerjakan rukshshah itu.</p> <p>Jadi shalat Jumat pada saat hari raya, menjadi rukhshah, karena terdapat udzur berupa pelaksanaan shalat hari raya. Namun karena rukhshah itu tidak menghilangkan azimah sama sekali, maka shalat Jumat masih tetap disyariatkan, sehingga boleh dikerjakan dan boleh pula tidak dikerjakan. Hal ini diperkuat dan diperjelas dengan sabda Nabi dalam kelanjutan hadits Zayd bin Arqam di atas “man syaa-a an yushalliya falyushalli” (barangsiapa yang berkehendak [shalat Jumat], hendaklah dia shalat). Ini adalah manthuq (ungkapan tersurat) hadits. Mafhum mukhalafah (ungkapan tersirat) dari hadits itu -dalam hal ini berupa mafhum syarat, karena ada lafazh “man” sebagai syarat- adalah “barangsiapa yang tidak berkehendak shalat Jumat, maka tidak perlu shalat Jumat.”</p> <p>Kesimpulannya, orang yang telah menjalankan shalat hari raya, gugurlah kewajiban atasnya untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh menunaikan shalat Jumat dan boleh juga tidak.</p> <p>Mungkin ada pertanyaan, apakah gugurnya shalat Jumat ini hanya untuk penduduk kampung/desa (ahlul badaawi/ahlul ‘aaliyah) –yang di tempat mereka tidak diselenggarakan shalat Jumat– sedang bagi penduduk kota (ahlul amshaar/ahlul madinah) —-yang di tempat mereka diselenggarakan shalat Jumat– tetap wajib shalat Jumat ?</p> <p>Yang lebih tepat menurut kami, gugurnya kewajiban shalat Jumat ini berlaku secara umum, baik untuk penduduk kampung/desa maupun penduduk kota. Yang demikian itu karena nash-nash hadits di atas bersifat umum, yaitu dengan adanya lafahz “man” (barangsiapa/siapa saja) yang mengandung arti umum, baik ia penduduk kampung maupun penduduk kota. Dan lafazh umum tetap dalam keumumannya selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkannya. Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan (takhsis) keumumannya, maka tetaplah lafazh “man” dalam hadits-hadits di atas berlaku secara umum.</p> <p><strong><em>2.2. Keterangan Hukum Kedua</em></strong><br />Bagi mereka yang sudah shalat hari raya, mana yang lebih utama (afdhal), menunaikan shalat Jumat ataukah meninggalkannya ? Pada dasarnya, antara azimah (hukum asal) dan rukhshah kedudukannya setara, tak ada yang lebih utama daripada yang lain, kecuali terdapat nash yang menjelaskan keutamaan salah satunya, baik keutamaan azimah maupun rukhshah.</p> <p>Namun dalam hal ini terdapat nash yang menunjukkan keutamaan shalat Jumat daripada meninggalkannya. Pada hadits Abu Hurayrah RA (hadits kedua) terdapat sabda Nabi “innaa mujammi’uun” (Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jumat). Ini menunjukkan bahwa meskipun Nabi SAW menjadikan shalat Jumat sebagai rukhshah, yakni boleh dikerjakan dan boleh tidak, akan tetapi Nabi Muhammad SAW faktanya tetap mengerjakan shalat Jumat. Hanya saja perbuatan Nabi SAW ini tidak wajib, sebab Nabi SAW sendiri telah membolehkan untuk tidak shalat Jumat. Jadi, perbuatan Nabi SAW itu sifatnya sunnah, tidak wajib.</p> <p><strong><em>2.3. Keterangan Hukum Ketiga</em></strong><br />Jika orang yang sudah shalat hari raya memilih untuk meninggalkan shalat Jumat, wajibkah ia shalat zhuhur ? Jawabannya, dia wajib shalat zhuhur, tidak boleh meninggalkannya.</p> <p>Wajibnya shalat zhuhur itu, dikarenakan nash-nash hadits yang telah disebut di atas, hanya menggugurkan kewajiban shalat Jumat, tidak mencakup pengguguran kewajiban zhuhur. Padahal, kewajiban shalat zhuhur adalah kewajiban asal (al fadhu al ashli), sedang shalat Jumat adalah hukum pengganti (badal), bagi shalat zhuhur itu. Maka jika hukum pengganti (badal) -yaitu shalat Jumat- tidak dilaksanakan, kembalilah tuntutan syara’ kepada hukum asalnya, yaitu shalat zhuhur. Yang demikian itu adalah mengamalkan Istish-hab, yaitu kaidah hukum untuk menetapkan berlakunya hukum asal, selama tidak terdapat dalil yang mengecualikan atau mengubah berlakunya hukum asal.</p> <p>Dengan demikian, jika seseorang sudah shalat hari raya lalu memilih untuk meninggalkan shalat Jumat, maka ia wajib melaksanakan shalat zhuhur.</p> <p><em><strong>2.4. Keterangan Hukum Keempat</strong></em></p> <p>Mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk tetap menunaikan shalat Jumat. Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat. Dengan kata lain, rukhshah untuk meninggalkan shalat Jumat ini khusus untuk mereka yang sudah melaksanakan shalat hari raya. Mereka yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak mendapat rukhshah, sehingga konsekuensinya tetap wajib hukumnya shalat Jumat.</p> <p>Dalilnya adalah hadits Abu Hurayrah (hadits kedua) dimana Nabi SAW bersabda “fa man syaa-a, ajza-a-hu ‘anil jumu’ati” (Maka barangsiapa yang berkehendak [shalat hari raya], cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi). Ini adalah manthuq hadits. Mafhum mukhalafahnya, yakni orang yang tak melaksanakan shalat hari raya, ia tetap dituntut menjalankan shalat Jumat.</p> <p>Imam Ash Shan’ani dalam Subulus Salam ketika memberi syarah (penjelasan) terhadap hadits di atas berkata : “Hadits tersebut adalah dalil bahwa shalat Jumat -setelah ditunaikannya shalat hari raya– menjadi rukhshah. Boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Tetapi (rukhshah) itu khusus bagi orang yang menunaikan shalat Ied, tidak mencakup orang yang tidak menjalankan shalat Ied.”</p> <p>Jadi, orang yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak termasuk yang dikecualikan dari keumuman nash yang mewajibkan shalat Jumat. Yang dikecualikan dari keumuman nash itu adalah yang telah shalat hari raya. Maka dari itu, orang yang tidak shalat hari raya, wajib atasnya shalat Jumat.</p> <p><strong>3. Meninjau Pendapat Lain</strong><br /><strong><em>3.1. Pendapat Imam Syafi’i</em></strong></p> <p>Pada dasarnya, Imam Syafii tetap mewajibkan shalat Jumat yang jatuh bertepatan pada hari raya. Namun beliau menetapkan kewajiban tersebut hanya berlaku bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar). Adapun penduduk desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul badawi) yang datang ke kota untuk shalat Ied (dan shalat Jumat), sementara di tempatnya tidak diselenggarakan shalat Jumat, maka mereka boleh tidak mengerjakan shalat Jumat.</p> <p>Sebenarnya Imam Syafi’i berpendapat seperti itu karena menurut beliau, hadits-hadits yang menerangkan gugurnya kewajiban shalat Jumat pada hari raya bukanlah hadits-hadits shahih. Sehingga beliau pun tidak mengamalkannya. Inilah dasar pendapat Imam Syafi’i. Menanggapi pendapat Imam Syafi’i tersebut, Imam Ash Shan’ani dalam Subulus Salam berkata : “Asy Syafi’i dan segolongan ulama berpendapat bahwa shalat Jumat tidak menjadi rukhshah. Mereka berargumen bahwa dalil kewajiban shalat Jumat bersifat umum untuk semua hari (baik hari raya maupun bukan). Sedang apa yang disebut dalam hadits-hadits dan atsar-atsar (yang menjadikan shalat Jumat sebagai rukhshah) tidaklah cukup kuat untuk menjadi takhsis (pengecualian) kewajiban shalat Jumat, sebab sanad-sanad hadits itu telah diperselisihkan oleh ulama. Saya (Ash Shan’ani) berkata,’Hadits Zayd bin Arqam telah dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah…maka hadits tersebut dapat menjadi takhsis (pengecualian)…”</p> <p>Dengan demikian, jelaslah bahwa Imam Syafi’i tidak menilai hadits Zayd bin Arqam tersebut sebagai hadits shahih, sehingga beliau tidak menjadikannya sebagai takhsis yang menggugurkan kewajiban shalat Jumat. Beliau kemudian berpegang kepada keumuman nash yang mewajibkan shalat Jumat pada semua hari (QS Al Jumu’ah ayat 9), baik hari raya maupun bukan. Tapi, Imam Ash Shan’ani menyatakan, bahwa hadits Zayd bin Arqam adalah shahih menurut Ibnu Khuzaimah.</p> <p>Dalam hal ini patut kiranya ditegaskan, bahwa penolakan Imam Syafi’i terhadap hadits Zayd bin Arqam tidaklah mencegah kita untuk menerima hadits tersebut. Penolakan Imam Syafi’i terhadap hadits Zayd bin Arqam itu tidak berarti hadits tersebut –secara mutlak– tertolak (mardud). Sebab sudah menjadi suatu kewajaran dalam penilaian hadits, bahwa sebuah hadits bisa saja diterima oleh sebagian muhaddits, sedang muhaddits lain menolaknya. Dalam kaitan ini Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah Juz I berkata : “…(kita tidak boleh cepat-cepat menolak suatu hadits) hanya karena seorang ahli hadits tidak menerimanya, karena ada kemungkinan hadits itu diterima oleh ahli hadits yang lain. Kita juga tidak boleh menolak suatu hadits karena para ahli hadits menolaknya, karena ada kemungkinan hadits itu digunakan hujjah oleh para imam atau umumnya para fuqaha… “</p> <p>Maka dari itu, kendatipun hadits Zayd bin Arqam ditolak oleh Imam Syafi’i, tidak berarti kita tidak boleh menggunakan hadits tersebut sebagai dalil syar’i. Sebab faktanya ada ahli hadits lain yang menilainya sebagai hadits shahih, yakni Imam Ibnu Khuzaimah, sebagaimana penjelasan Imam Ash Shan’ani. Jadi, beristidlal dengan hadits Zayd bin Arqam tersebut tetap dibenarkan, sehingga hukum yang didasarkan pada hadits tersebut adalah tetap berstatus hukum syar’i.</p> <p>3.2. Pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah<br />Imam Malik dan Abu Hanifah tetap mewajibkan shalat Jumat, baik bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar), maupun penduduk desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul badawi). Ibnu Rusyd menjelaskan argumentasi kedua Imam tersebut : “Imam Malik dan Abu Hanifah berkata, ‘Shalat hari raya adalah sunnah, sedang shalat Jumat adalah fardhu, dan salah satunya tidak dapat menggantikan yang lainnya. Inilah yang menjadi prinsip asal (al ashlu) dalam masalah ini, kecuali jika terdapat ketetapan syara’, maka wajib merujuk kepadanya…”</p> <p>Dari keterangan itu, nampak bahwa Imam Malik dan Abu Hanifah juga tidak menerima hadits-hadits yang menerangkan gugurnya shalat Jumat pada hari raya. Konsekuensinya, beliau berdua kemudian berpegang pada hukum asal masing-masing, yakni kesunnahan shalat Ied dan kewajiban shalat Jumat. Dasar pendapat mereka sebenarnya sama dengan pendapat Imam Syafi’i. Namun demikian, beliau berdua memberikan perkecualian, bahwa hukum asal tersebut dapat berubah, jika terdapat dalil syar’i yang menerangkannya.</p> <p>Atas dasar itu, karena terdapat hadits Zayd bin Arqam (yang shahih menurut Ibnu Khuzaimah) atau hadits Abu Hurayrah RA (yang shahih menurut Ad Daruquthni), maka sesungguhnya hadits-hadits tersebut dapat menjadi takhsis hukum asal shalat Jumat, yakni yang semula wajib kemudian menjadi rukhshah (tidak wajib).</p> <p>Dengan demikian, yang berlaku kemudian adalah hukum setelah ditakhsis, bukan hukum asalnya, yakni bahwa shalat Jumat itu menjadi rukhshah bagi mereka yang menunaikan shalat hari raya, dan statusnya menjadi tidak wajib. Inilah pendapat yang lebih tepat menurut kami.</p> <p>3.3. Pendapat ‘Atha bin Abi Rabah<br />‘Atha bin Abi Rabbah berpendapat bahwa jika hari Jumat bertepatan dengan hari raya, maka shalat Jumat dan zhuhur gugur semuanya. Tidak wajib shalat apa pun pada hari itu setelah shalat hari raya melainkan shalat ‘Ashar.</p> <p>Imam Ash’ani menjelaskan bahwa pendapat ‘Atha` tersebut didasarkan pada 3 (tiga) alasan, yaitu:<br />Pertama, berdasarkan perbuatan sahabat Ibnu Zubayr RA sebagaimana diriwayatkan Imam Abu Dawud, bahwasanya : “Dua hari raya (hari raya dan hari Jumat) telah berkumpul pada satu hari yang sama. Lalu dia (Ibnu Zubayr) mengumpulkan keduanya dan melakukan shalat untuk keduanya sebanyak dua rakaat pada pagi hari. Dia tidak menambah atas dua rakaat itu sampai dia mengerjakan shalat Ashar.” ['Iidaani ijtama'aa fii yawmin waahidin, fajamma'ahumaa fashallahumaa rak'atayni bukratan lam yazid 'alayhaa hattaa shallal 'ashra]</p> <p>Kedua, shalat Jumat adalah hukum asal (al ashl) pada hari Jumat, sedang shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al badal) bagi shalat Jumat. Maka dari itu, jika hukum asal telah gugur, otomatis gugur pulalah hukum penggantinya.</p> <p>Ketiga, yang zhahir dari hadits Zayd bin Arqam, bahwa Rasul SAW telah memberi rukhshah pada shalat Jumat. Namun Rasul SAW tidak memerintahkan untuk shalat zhuhur bagi orang yang tidak melaksanakan shalat Jumat.</p> <p>Demikianlah alasan pendapat ‘Atha` bin Abi Rabbah. Imam Ash Shan’ani tidak menerima pendapat tersebut dan telah membantahnya. Menurut beliau, bahwa setelah shalat hari raya Ibnu Zubayr tidak keluar dari rumahnya untuk shalat Jumat di masjid, tidaklah dapat dipastikan bahwa Ibnu Zubayr tidak shalat zhuhur. Sebab ada kemungkinan (ihtimal) bahwa Ibnu Zubayr shalat zhuhur di rumahnya. Yang dapat dipastikan, kata Imam Ash Shan’ani, shalat yang tidak dikerjakan Ibnu Zubayr itu adalah shalat Jumat, bukannya shalat zhuhur.</p> <p>Untuk alasan kedua dan ketiga, Imam Ash Shan’ani menerangkan bahwa tidaklah benar bahwa shalat Jumat adalah hukum asal (al ashl) sedang shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al badal). Yang benar, justru sebaliknya, yaitu shalat zhuhur adalah hukum asal, sedang shalat Jumat merupakan penggantinya. Sebab, kewajiban shalat zhuhur ditetapkan lebih dahulu daripada shalat Jumat. Shalat zhuhur ditetapkan kewajibannya pada malam Isra’ Mi’raj, sedang kewajiban shalat Jumat ditetapkan lebih belakangan waktunya (muta`akhkhir). Maka yang benar, shalat zhuhur adalah hukum asal, sedang shalat Jumat adalah penggantinya. Jadi jika shalat Jumat tidak dilaksanakan, maka wajiblah kembali pada hukum asal, yakni mengerjakan shalat zhuhur.</p> <p><strong>4. Kesimpulan</strong><br />Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jika hari raya bertepatan dengan hari Jumat, hukumnya adalah sebagai berikut :<br />Pertama, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya (Ied), gugurlah kewajiban shalat Jumat atasnya. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat dan boleh juga tidak. Namun, disunnahkan baginya tetap melaksanakan shalat Jumat.</p> <p>Kedua, jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut memilih untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib atasnya melaksanakan shalat zhuhur. Tidak boleh dia meninggalkan zhuhur.</p> <p>Ketiga, adapun orang yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya shalat Jumat. Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat. Tidak boleh pula dia melaksanakan shalat zhuhur.</p> <p>Demikianlah hasil pentarjihan kami untuk masalah ini sesuai dalil-dalil syar’i yang ada. Wallahu a’lam.</p> <p><strong>DAFTAR PUSTAKA</strong></p> <p><em>Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh. Cetakan Kedua. Beirut : Darul Bayariq. 417 hal.</em></p> <p><em>Ad Dimasyqi, Muhammad bin Abdurrahman Asy Syafi’i. 1993. Rohmatul Ummah (Rahmatul Ummah Fi Ikhtilafil A`immah). Terjemahan oleh Sarmin Syukur dan Luluk Rodliyah. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 554 hal.</em></p> <p><em>Ash Shan’ani, Muhammad bin Ismail Al Kahlani. Tanpa Tahun. Subulus Salam. Juz II. Bandung : Maktabah Dahlan. 224 hal.</em></p> <p><em>Ash Shiddieqi, T.M. Hasbi. 1981. Koleksi Hadits Hukum (Al Ahkamun Nabawiyah). Jilid IV. Cetakan Kedua. Bandung : PT. Alma’arif. 379 hal.</em></p> <p><em>An Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah. Juz Ketiga (Ushul Fiqh). Cetakan Kedua. Al Quds : Min Mansyurat Hizb Al Tahrir. 492 hal.</em></p> <p><em>———-. 1994. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah. Juz Pertama. Cetakan Keempat. Beirut : Darul Ummah. 407 hal.</em></p> <p><em>Ibnu Khalil, ‘Atha`. 2000. Taisir Al Wushul Ila Al Ushul. Cetakan Ketiga. Beirut : Darul Ummah. 310 hal.</em></p> <p><em>Ibnu Rusyd. 1995. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Juz I. Beirut : Daarul Fikr. 399 hal.</em></p> <p><em>Raghib, Ali. 1991. Ahkamush Shalat. Cetakan Pertama. Beirut : Daar An Nahdhah Al Islamiyah.132 hal.</em></p> <p><em>Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah (Fiqhus Sunnah). Jilid 2. Cetakan Ketujuhbelas. Terjemahan oleh Mahyuddin Syaf. Bandung : PT. Al Ma’arif. 229 hal</em></p> <p><em>Syirbasyi, Ahmad. 1987. Himpunan Fatwa (Yas`alunaka fi Ad Din wa Al Hayah). Terjemahan oleh Husein Bahreisj. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 598 hal.</em></p>Unknownnoreply@blogger.com0